Oleh: Liven R
SEBAGAI makhluk sosial, kita senantiasa memerlukan teman atau sahabat sebagai
tempat bermain, berbagi cerita (di saat senang dan susah), maupun tempat kita
belajar selama menjalani proses kehidupan kita.
Sesungguhnya,
untuk ‘berteman’ dengan seseorang, kita hanya butuh waktu beberapa menit saja.
Ya, mulailah dengan berkenalan, saling menyapa untuk mengetahui sedikit
informasi diri seperti umur dan pekerjaan, jadilah teman! Namun, lain halnya
dengan ‘sahabat’. Untuk mendapatkan/memberi label ‘sahabat’, kita membutuhkan
waktu seumur hidup untuk mengenali dan membina hubungan pertemanan yang telah
ada agar dapat naik ke jenjang yang mana telah pantas disebut ‘sahabat’.
‘Bahwa
pertemanan harus membawa dampak positif dan berinteraksi secara positif juga’,
demikian sebaris kalimat yang ditulis Reni Erina—Editor Majalah Story—pada
status FB-nya beberapa waktu yang lalu saat dia mengaku sedang menghapus
beberapa teman FB-nya.
Bagi
penulis, kalimat tersebut terdengar sederhana, namun mengandung arti yang
mendalam, dan penulis pribadi amat setuju dengan pernyataan tersebut. Mengapa?
Pada
dasarnya, sahabat terbagi dua jenis, yakni kalyana
mitta dan akalyana mitta—Bahasa
Pali, yang berarti sahabat sejati dan sahabat palsu.
Dalam
kehidupan sehari-hari, sahabat sejati dapat kita labelkan langsung kepada
orangtua dan para guru kita, sebab kita tahu pasti bahwa orangtua dan guru
adalah orang-orang yang senantiasa membantu mengatasi kesulitan kita tanpa
pamrih dan tak pernah menjerumuskan kita.
Selain
guru dan orangtua, tentunya masih terdapat orang-orang yang layak disebut
sahabat sejati, yakni mereka yang senantiasa mengajarkan kita hal-hal baik dan
selalu mengharapkan kebaikan kita, serta ikut gembira ketika kita mampu
mencapai suatu kemajuan dalam hidup.
Lantas
bagaimana ciri-ciri sahabat palsu?
Ketika
baru memulai sebuah pertemanan, kita tentu tak dapat memastikan dengan cepat
dan tepat siapa dan bagaimana sesungguhnya teman baru kita. Seiring waktu (jika
kita jeli) biasanya sikap dan sifat bawaan seseorang akan mulai terlihat dan
semakin lama akan semakin jelas.
Tak
terelakkan bahwa sering kita akan bertemu teman dengan sifat yang beragam, di
antaranya yang memiliki sifat ‘pelit’ hingga mendekati ‘kikir’, teman yang
hanya ingat untuk bertanya ‘apa kabar?’ ketika dia sedang membutuhkan
pertolongan kita, teman yang suka menggosip untuk mengisi waktu luangnya, hingga
teman yang siang dan malam ahli mengeluh dengan bahasa melankolis nan lebay bin
alaynya. (Hehehe…)
Profesional
Muda, disadari atau tidak, ketika kita berinteraksi dan bergaul dengan
seseorang/sekelompok orang di suatu lingkungan dalam jangka waktu tertentu
secara terus-menerus, meskipun sifat dasar kita sulit terpengaruh, namun perilaku
kita lambat-laun akan terpengaruh dan menjadi mirip dengan perilaku orang-orang
dalam lingkungan tersebut.
Sederhananya,
ketika berada di lingkungan dengan manusia yang berperilaku baik, seseorang
akan belajar kebaikan, demikian juga sebaliknya. Selain itu, manusia sering
mengubah perilakunya dan meniru perilaku orang lain demi mendapatkan pengakuan
dari orang-orang di lingkungan pergaulannya.
Jika
dalam pergaulan, kita terpengaruh menjadi sedikit pelit, senang menggosip dan
suka mengeluh, tentunya masih wajar selagi hal tersebut tak sampai merugikan orang
lain (dan jika bisa tentu saja jangan sama sekali). Namun, menjadi penting dan
harus dihindari ketika pergaulan tersebut telah membawa perubahan besar dalam
hidup, apalagi menjurus ke hal-hal negatif yang membawa keresahan dalam
keluarga dan masyarakat.
Sebuah
kisah nyata dari seorang relawan Yayasan Buddha Tzu Chi (yang telah difilmkan
dan dirilis oleh DAAI TV sebagai drama seri keteladanan) berikut ini mungkin
bisa menyadarkan kita betapa pentingnya memilih teman dalam bergaul:
Sejak
kecil AB (lelaki) sering dimarahi dan dipukul ayahnya karena hal-hal sepele.
Kasih sayang yang kurang dari ayahnya, membuat AB tertekan dan kecewa dengan
kehidupannya. Satu-satunya orang yang selalu menjadi tempatnya mengadu resah hanyalah
neneknya.
Singkat
cerita, beranjak dewasa AB pun mulai bekerja dengan penghasilan yang minim. Dan
oleh seorang sahabatnya, dia kemudian dijanjikan pekerjaan yang lebih baik,
namun harus meninggalkan kampung halaman dan tentunya jauh dari neneknya yang
tercinta. Namun, untuk membuktikan kepada ayahnya bahwa dia sanggup menjadi
manusia yang berguna, dia pun membulatkan tekadnya untuk pergi menyongsong masa
depannya.
Sesampainya
di kota, AB baru menyadari pekerjaan yang dijanjikan temannya ternyata adalah
sebagai kurir narkoba! Untuk kembali, rasanya amat berat karena gengsinya
terhadap ayahnya. Ditambah dengan bujukan teman-teman pada geng ‘hitam’
tersebut, akhirnya kurir narkoba pun dilakoni AB.
Hampir
setiap malam, ‘teman-teman baik’nya mempertunjukkan dan mengajarinya bagaimana
cara mengonsumsi minuman keras (miras) dan narkoba. Anda tahu? Ketika seseorang
telah mengonsumsi narkoba, maka dialah calon pelaku serangkaian hal buruk
lainnya. Ya, AB menceritakan tak ada satu hal buruk apa pun yang tak pernah dia
lakukan kala itu. Mencuri di mobil yang sedang diparkir, berlari dari kejaran
polisi, merampok, dan berkelahi ala Street Fighter, adalah kesehariannya.
Masuk
penjara dan panti rehabilitasi? Itu pun sudah menjadi langganannya! Bahkan
ketika neneknya yang tercinta wafat, dia harus pulang dengan mengendap-endap
karena sedang menjadi buronan kepolisian.
Profesional
Muda, AB sesungguhnya letih menghadapi kehidupannya yang demikian kacau.
Berkali-kali dipenjara, berkali-kali dia merenung dan bertekad untuk kembali ke
jalan yang benar jika dia bebas nanti. Namun, setiap kali bebas, wajah pertama
yang dijumpai adalah wajah teman-teman dari geng hitamnya. “Kita saudara!
Kesulitanmu adalah kesulitanku. Kalau kamu tak mau bergabung lagi dengan kami,
itu berarti kamu tak setia kawan! Mari merayakan kebebasanmu dengan minum. Saya
yang traktir!” ucapan inilah yang selalu membuat AB kembali berkubang dalam
lumpur yang sama.
Berapa
banyakkah di antara kita yang selalu mengaku teman dan sahabat bagi orang lain,
namun dalam kenyataannya justru menjerumuskan?
Sesungguhnya
dalam kasus AB, tak ada yang salah dalam dirinya, ‘pergaulan’ dan ‘sahabat’
yang salahlah yang telah menjerumuskannya!
Dewasa
ini, banyak yang berpendapat, tak merokok, tak bisa minum miras, tak tahu
mengonsumsi narkoba, berjudi, mengunjungi prostitusi, dan sebagainya,
ketinggalan zaman! Bisa merokok, seks bebas, gonta-ganti pasangan hidup, mampu mengonsumsi
miras dan narkoba, keren abis!
Profesional
Muda, adakah seseorang yang mengaku sahabat Anda mengatakan hal seperti di atas
kepada Anda? Jika ada, sanggupkah Anda mengatakan padanya ‘itu salah!’ dan
membawanya kembali ke pemahaman yang benar sejatinya? Jika tak sanggup, segeralah
angkat kaki dan menjauhlah! Sebab, alih-alih berebut gelar ‘sampah masyarakat’,
kita perlu mengasihani diri sendiri dan juga orangtua kita yang telah bersusah
payah membesarkan kita!
Ya,
bagaimana pun kita adalah manusia biasa. Ketika kita tak sanggup berperan
layaknya malaikat yang mampu menyadarkan, maka kita selalu punya pilihan untuk
menyelamatkan diri dan tak ikut berbuat yang tak baik. Dan, kita sesungguhnya tak
membutuhkan pengakuan ‘setia kawan’ dari orang-orang yang tak menghargai
jasmaninya dan arti hidup sesungguhnya.
Kembali
ke kisah AB, keluar dari penjara di kali terakhirnya, dia bertekad tidak menemui
‘teman-teman baik’nya terlebih dahulu, melainkan pergi menemui seorang relawan
Tzu Chi yang pernah membimbingnya selama di penjara dan mendaftarkan diri
menjadi relawan juga. Namun ini tentu tak mudah. Teman-temannya terus berusaha
menyeretnya kembali ke jalan ‘hitam’ dengan berbagai cara halus maupun ancaman.
Ya, istilah ‘sekali salah jalan, seseorang sulit untuk kembali’ agaknya berlaku
juga pada AB.
“Aku
kini mengabdikan diri untuk kebaikan orang lain. Apa pun, aku tak ‘kan kembali
bersama kalian, meskipun kamu membunuhku!” demikian ucap AB kepada temannya di
bawah ancaman pisau di lehernya.
Tak
mendapatkan respon, akhirnya teman-temannya pun tak lagi berminat terhadap AB.
Sejak itu, AB menjadi relawan Tzu Chi dan rutin mengadakan kunjungan kasih di
penjara Taiwan dan menjadi sosok keteladanan bagi para pecandu narkoba yang
sedang menjalani masa rehabilitasi narkoba melalui kisah hidupnya.
Kisah
AB menunjukkan kepada kita, terhadap sahabat (palsu) yang tak membawa kebaikan
bahkan cenderung mendukung perbuatan kita yang salah dan mengajarkan hal-hal
yang tak bermanfaat, kita harus mampu mengatakan ‘tidak!’. Dan, meskipun kita
pernah salah dalam bergaul dan pernah terjerumus, selalu ada kesempatan untuk
kembali ke jalan yang benar asalkan kita bertekad untuk bertobat.
Sahabat
yang baik adalah sahabat yang membawa ke arah kebaikan, mencegah kita berbuat
salah dan senantiasa mengingatkan ketika langkah kita mulai menyimpang.
Profesional Muda, sudahkah Anda bergaul dengan kalyana mitta dan berperan sebagai kalyana mitta? Semoga kita semua mampu menjadi individu kebanggaan
keluarga dan masyarakat!
*Penulis adalah trainer penulisan
Dimuat Analisa, TRP, 4 Agustus
2013
No comments:
Post a Comment