Shoutbox

25 December 2013

Natal Putih


Oleh: Liven R

LONCENG istirahat baru saja berbunyi. Sebentar saja ruang kelas III IPA-2 sudah sepi. Seperti biasa, teman-teman pasti sedang menjejali kantin untuk meredam musik keroncong di perut masing-masing.
Tinggal aku sendirian di kelas berteman roti susu yang kubawa dari rumah. Makan atau tidur saja barang limabelas menit? Ah, kalau bukan hari ini ada ulangan Fisika, aku tak akan memaksa untuk masuk.
Kupejamkan mata. Dunia masih terasa berputar.
“Hayo! Pemalas!” Seseorang mencubit pipiku.
Aku membuka mata. Sosok atletis itu tampak memandangku begitu dekat. Refleks, kudorong wajahnya. Dia tertawa.
“Kemarin ke mana?”
“Sakit,” jawabku pelan.
“Oh…, sakit rindu?” tanyanya lagi sambil mengambil duduk di bangku barisan depan, tempat duduk Sanny. “Sebenarnya, kamu tak perlu begitu merindukanku, Erin, toh, kita hanya tak bertemu beberapa hari saja, kamu sudah….”
“Indra!” Aku merasa perlu menghentikan ocehan Indra sebelum dia membuatku mual. “Siapa yang sakit rindu? Aku hanya sedikit demam dan pusing.”
Hening.
Indra menatapku.
 “Ayolah, Erin…, beri aku jawaban. Jadi kekasihku, ya? Aku akan memberimu kado terindah di malam Natal nanti….” Indra menarik tanganku dan memasang mimik serius.
Ups! Lagi-lagi! Mengenal Indra sejak dari bangku SMP, bagiku dia adalah makhluk serba bisa. Ya, Indra bukan hanya pintar di hampir semua mata pelajaran sekolah, tapi juga vokalis grup musik paling bergengsi di sekolah ini. Pastinya, Indra adalah sosok idola dari sekian banyak gadis berok biru maupun abu-abu di sekolah ini. Hanya saja, sifat usilnya belum ada obatnya di dunia!
“Ah!” Kutarik tanganku dari genggamannya. “Aku tak mau. Dasar gombal!”
“Hanya padamu.”
“Buaya!”
“Aku? Buaya?” Indra menunjuk hidungnya. “…hmm, buaya itu bukan sesuatu yang jelek. Buktinya ada penangkaran buaya di negara kita, ‘kan? Kamu pasti senang, sebentar lagi akan bermunculan banyak makhluk seperti aku. Lagipula, ada juga baju yang bermerek ‘Crocodile’. Lumayan, lha....”
“Indra, kamu itu…”
“Tampan? Keren? Aku sudah tahu dan sudah banyak yang memberitahuku, kok.”
“Muka tembok!”
“The Great Wall, dong?”
Indra tertawa senang bagaikan baru menonton film Mr Bean. Aku gondok setengah mati!
“Katakan saja ‘ya’, karena aku tak kuat menerima penolakan lagi….”
Oh, setiap kali berbicara dengan Indra, aku harus berdoa. Dan, doaku terkabul! Lonceng berbunyi!
Indra bangkit untuk kembali ke kelas sebelah, III IPA-1.
“Aku masih menunggu ‘ya’ darimu,” bisiknya sebelum berlalu.
***
Terik di pelataran parkir.
Kulirik jam di pergelangan tangan. Sudah lewat limapuluh menit, Wak Bagus belum juga datang menjemputku. Ponselnya pun tak aktif. Ke manakah dia?
“Non, mau kuantar?”
Kulayangkan pandang ke arah pemilik suara yang duduk di balik setir sedan merah metalik.
“Sudah menunggu lama, ‘kan? Ayo, kuantar….”
            Aku berpikir sejenak. Wak Bagus kemungkinan besar punya urusan lain dan lupa memberitahuku. Ada baiknya aku diantar Indra. Lagipula, limabelas menit lagi mungkin aku akan segera gosong di sini. Tapi…, tunggu dulu! Siapa sosok gadis di sampingnya itu?
“Ehmm…. Sudah satu jam,” ucapku. “…tapi, belum terlalu lama, kok. Tak apa. Aku menunggu di sini saja.” Akhirnya aku menjawab mengingkari keinginan hatiku, demi melihat Ferren mengulaskan senyum untukku dari samping tubuh Indra.
“Astaga! Sudah tigaribu enamratus detik masih dibilang belum terlalu lama? Apa kamu mau menunggu sampai pingsan di sini?”
“Tapi, Wak Bagus sudah dalam perjalanan ke sini, kok.” Aku ternyata berbakat menjadi pengarang!
“Oooo… Benar? Tak nyesal menolak diantar Den Bagus satu ini?”
Apa katanya?! Den Bagus? Yang kumisnya panjang menutupi bibirnya itu? Apanya yang bagus?!
Ferren terbahak sambil memeluk lengan Indra.
“Kesempatan terakhir, nih! Wak Bagus atau Den Bagus?” seru Indra lagi dengan senyumnya.
“Ehm…, ya! Wak Bagus!” Aku mengangguk mantap.
Pun akhirnya mobil merah itu menderu meninggalkanku.
Aku segera berjalan cepat meninggalkan lingkungan sekolah menuju halte terdekat. Semoga saja masih ada angkot yang dapat kutumpangi. Ah, mengapa aku harus menolak tawaran Indra? Bukankah sungguh nyaman duduk di mobilnya daripada kepanasan di sini dan bersesak-sesakan nanti?
Ferren. Mendadak batinku mengeja nama itu. Ternyata apa yang kudengar bukan gosip. Indra memang dekat dengan Ferren sekarang. Berpacarankah mereka? Ah, Ferren yang cantik dan Indra yang tampan, sungguh serasi! Sama-sama berbakat dan vokalis di grup musik sekolah, hanya beda kelompok.
Tapi, entah mengapa dadaku mendadak terasa berat dan sesak, ya? Pelukan Ferren pada lengan Indra tadi. Tatapan manjanya pada Indra. Ada apa ini? Cemburukah aku? Ah, tak mungkin!
Tiga bulan setelah Natal tahun ini, kami akan lulus SMA dan meninggalkan sekolah yang penuh kenangan itu untuk mengejar impian masing-masing. Aku masih ingat Indra pernah mengatakan akan meneruskan kuliah ke Jerman, kota Beethoven, dan mengambil jurusan musik. Sementara aku? Mungkin ke Surabaya atau Yogyakarta. Entahlah…. Pastinya, kami akan berpisah setelah itu.
Bagiku menjalin cinta di masa-masa SMA tak kan bertahan lama. Hanya akan menyisakan kepahitan nantinya. Dan, apa namanya? Cinta monyet—yang konon karena besarnya rasa cinta si monyet pada seekor ikan mas, membuatnya mengeluarkan si ikan mas dari kolamnya dan digantung di pohon untuk ditatapnya tanpa henti, tapi tak disadari rasa cintanya membunuh si ikan mas perlahan dan pasti? Analogi untuk cinta yang menyakitkan!
Lagipula, berapa persentase manusia yang berhasil mempertahankan cinta SMA-nya hingga menjadi pasangan kakek-nenek? Yang kutahu, sembilan puluh persen berakhir menjadi cerita dalam novel-novel roman picisan. Tak Lebih!
Setidaknya aku tahu apa yang dikatakan Indra padaku tadi siang di kelas hanyalah lelucon ala playboy! Huh! Tadi merayuku, sekarang duduk bersisian dengan Ferren, keterlaluan! Aku tak akan begitu bodoh menjadi si ikan mas, mati karena rayuan si monyet, eh, Den Bagus! Ups!
***
Malam Natal.
Pohon cemara yang anggun dengan cahayanya yang gemilang tengah berdiri di dua sisi ruangan. Lonceng keperakan sesekali berdenting mengikuti irama angin yang menyapa. Pantulan cahaya nan indah seakan menyusupkan kedamaian di relung hati terdalam.
Bertahun-tahun, setiap malam Natal aku selalu mengunjungi kapel ini dan mengikuti Misa Natal, sesuatu yang tak akan kulewatkan, terlebih karena grup musik sekolah kami juga turut memeriahkan malam Natal tiga tahun belakangan ini.
“Hai, Erin! Sudah lama?” Sanny merangkulku dari belakang.
“Belum,” jawabku singkat.
“Sudah tahu? Malam ini grup Pioneer tak jadi tampil. Indra terjatuh saat geladi resik tadi sore…,” Sanny mengimbuhkan.
“Apa? Bagaimana keadaannya sekarang?”
“Tenang…, kudengar hanya sedikit cedera di kakinya. Malam ini hanya grup Ferren yang tampil.”
Pantas aku tak melihat Indra dari tadi. Di mana dia sekarang? Sedang kesakitan ataukah sedang bersedih karena tak dapat ikut memeriahkan malam Natal? Mendadak sebersit cemas terbit di hatiku.
Sepeninggalan Sanny, aku segera menyisir lorong-lorong kapel dan mencari sosok Indra. Aneh, bukankah biasanya aku berusaha menghindarinya?
Itu dia! Di undakan depan kapel, Indra yang berpakaian kemeja putih tampak duduk sendirian.
“Hei!”
Indra tak menyahut.
“Hei! Kamu baik-baik saja?”
Indra berpaling kepadaku. “Kamu bicara padaku?”
“Siapa lagi? Di sini hanya ada kita berdua, ‘kan?”
“Ohhh…, tapi aku bukan bernama ‘Hei’.”
Aku mengambil duduk di samping Indra.
“…kalau lain waktu tak tahu namaku, panggil saja ‘Sayang’.”
Kata-kata itu…, ah, syukurlah Indra tak apa-apa.
Aku memandang jauh ke langit malam. Bintang tampak meramaikan kelam. Malaikat di surga pasti sedang berbaris menyambut malam yang kudus ini.
“Erin…,” suara Indra memecah keheningan di antara kami. “Maukah memberiku jawaban di malam yang suci ini?” Indra menatap lekat ke bola mataku. “Aku memang tak dapat menjanjikan malam yang selalu berbintang, juga musim yang selalu semi, tapi maukah saling menjadikan diri sebagai alasan kepulangan kembali di malam Natal dan di kapel ini  kelak, setelah raga kita terpisah antar-negara?”
“Tapi Ferren?” Hanya itu yang terlintas di benakku seketika.
“Ada apa dengan Ferren?” Indra mencubit hidungku. “Dasar tukang gosip! Aku dekat dengannya untuk latihan bersama menyambut Natal ini. Ada yang salah?”
Aku tersenyum. Ada rasa lega mendengar pengakuan Indra. Perlahan Indra menarikku ke dekapannya.
“Merry Christmas…!” bisiknya di sisi telingaku.
Angin berhembus pelan. Suara lonceng berdenting syahdu. Sayup-sayup irama kedamaian membelai kalbu….
Malam kudus…. Sunyi senyap….
***

*Selamat Natal & Tahun Baru kepada teman-teman pembaca yang merayakan!

*Dimuat Harian Analisa, Medan (23 Desember 2012)
*Penulis adalah trainer penulisan;ghostwriter;co-writer

21 December 2013

Kepala Ikan


(Sebuah Dedikasi untuk Mama di Seluruh Dunia)
Oleh: Liven R

            ALKISAH, di sebuah desa nelayan di Tiongkok utara, terdapat sebuah keluarga nelayan yang miskin. Keluarga tersebut terdiri dari enam anggota, yakni Nyonya Zhao dan lima anaknya—empat anak lelaki dan seorang anak perempuan—yang masih kecil. Tuan Zhao telah meninggal dunia dua tahun lalu akibat perahu yang ditumpanginya tenggelam tersapu badai ketika melaut.
            Setelah kematian suaminya, Nyonya Zhao sehari-harinya bekerja mencuci pakaian tetangganya dan membantu membersihkan kapal nelayan yang pulang dari melaut untuk mendapatkan sedikit upah guna menyambung hidup keluarganya dan menyekolahkan anak-anaknya.
Suatu ketika di hari terakhir musim dingin, sesuai tradisi setiap tahun, seluruh penduduk desa tersebut selalu berkumpul bersama keluarga masing-masing dan menikmati makan malam bersama untuk menyambut datangnya Festival Musim Semi (Tahun Baru Imlek).
Sebagai persiapan menyambut festival tersebut, biasanya para nelayan tak pergi melaut selama beberapa hari. Hal ini menyebabkan penghasilan Nyonya Zhao berkurang.
Menjelang malam Festival Musim Semi, dengan berbekal sedikit uang, Nyonya Zhao pergi ke pasar terdekat untuk membeli bahan makanan untuk makan malam keluarganya. Dengan uang yang dimilikinya, Nyonya Zhao hanya mampu membeli sedikit sayuran hijau. Beruntung di tengah perjalanan pulang, Nyonya Zhao bertemu dengan tetangganya yang kemudian menawarkan seekor ikan untuknya secara cuma-cuma.
Berbekal sedikit sayuran hijau dan seekor ikan pemberian tetangganya, Nyonya Zhao kemudian memasak makan malam untuk anak-anaknya. Namun, bagaimana sepiring sayuran hijau dan seekor ikan dapat dibagi untuk enam orang?
Setelah semua anaknya berkumpul di meja makan, Nyonya Zhao kemudian membagikan bagian tubuh ikan tersebut untuk kelima anaknya, sedangkan ia sendiri mengambil bagian kepala ikan.
“Mengapa Ibu tak mengambil bagian tubuh ikan dan hanya mengambil kepalanya saja?” putra sulung Nyonya Zhao bertanya.
“Anakku, kepala ikan adalah kesukaan Ibu. Dan bagi Ibu, kepala ikan adalah bagian yang paling enak,” jawab Nyonya Zhao sambil tersenyum.
Dengan demikian, malam itu mereka juga makan dan berkumpul bersama dengan gembira meskipun dengan lauk seadanya. Dan tanpa persiapan baju baru, mereka tetap melewati Festival Musim Semi dengan gembira.
***
WAKTU bergerak dengan cepat. Empat puluh tahun terlewatkan. Kini, Nyonya Zhao telah berusia 75 tahun dan anak-anaknya telah berkeluarga dan hidup mapan.
Suatu hari, anak-anak dan menantu Nyonya Zhao berunding untuk mengadakan pesta ulang tahun yang ke-75 untuknya. Dan akhirnya disepakati untuk merayakan ulang tahun tersebut di sebuah restoran mewah.
Pada hari ulang tahunnya, dengan dituntun anak dan menantunya Nyonya Zhao berjalan menuju meja yang disediakan untuknya.
Setelah semua undangan hadir, pelayan restoran segera menghidangkan menu yang dipesan. Pada saat penutup hidangan dibuka, alangkah terkejutnya Nyonya Zhao saat melihat sebuah kepala ikan yang besar berada di dalamnya.
“Ibu, kami sengaja memesan kepala ikan ini untuk Ibu, karena kami tahu sejak dulu Ibu paling menyukai kepala ikan,” ucap putri bungsu Nyonya Zhao.
Nyonya Zhao tersenyum kemudian menitikkan airmata.

“Anak-anakku, tahukah kalian aku sesungguhnya tak pernah menyukai kepala ikan? Di masa dulu karena kemiskinan kita, aku harus berbohong kepada kalian setiap kali kita hanya memiliki seekor ikan untuk dimakan berenam. Aku berbohong bahwa aku menyukai kepala ikan, agar kalian dapat makan dengan tenang dan sedikit lebih kenyang dengan bagianku. Kini setelah kalian berpenghasilan cukup dan hidup sukses, apakah aku masih harus memakan kepala ikan?” tanya Nyonya Zhao sambil bercanda kepada anak-anaknya.

***
KASIH sayang seorang ibu kepada anak-anaknya adalah demikian besarnya sehingga ia rela mengorbankan kesenangan diri sendiri demi kebahagiaan anak-anaknya. Dalam perannya, ibu selalu berusaha menelan bagian yang pahit bagi dirinya sendiri dan menyisakan bagian yang manis untuk anak-anaknya.
Sebagai anak, kita hendaknya senantiasa berusaha untuk membalas budi besar ibu meskipun ibu tak pernah mengingatkan kita untuk melakukan hal tersebut.
Semoga dengan selalu mengingat dan membalas budi besar ibu, hamparan permadani surga di bawah telapak kaki ibu senantiasa terbentang menyambut setiap langkah kaki kita.

***
Telah dimuat Harian Analisa, Medan