Shoutbox

08 September 2013

Harmoni dalam Festival Kue Bulan



Oleh: Liven R
PROFESIONAL Muda, dalam keharmonisan pembauran etnis dan kemajemukan budaya di Indonesia, Anda tentu pernah mendengar Festival Kue Bulan/Festival Pertengahan Musim Gugur (Mid Autumn Festival/Zhong Qiu Jie), yang mana dirayakan oleh etnis Tionghoa pada bulan delapan tanggal lima belas—kalender Lunar—bertepatan dengan terjadinya fase bulan purnama.
Meski berasal dan dilestarikan secara turun-temurun di Tiongkok, festival ini juga dirayakan oleh masyarakat etnis Tionghoa peranakan di seluruh dunia, termasuk Indonesia, dengan berpedoman pada kalender Lunar.
Di Indonesia, perayaan Festival Kue Bulan biasanya selalu diisi dengan berbagai acara dan kemeriahan yang berbeda-beda. Beberapa restoran maupun tempat wisata, bahkan menawarkan berbagai alternatif hiburan dalam merayakan festival ini.
Bagaimana sesungguhnya asal mula diadakannya Festival Kue Bulan?
Dalam legendanya di Tiongkok, terdapat dua versi yang menceritakan asal mula Festival Kue Bulan. Mari simak, ya?!
Chang’er terbang ke bulan
Dikisahkan, pada zaman dahulu langit memiliki sepuluh buah Matahari. Suatu ketika, sepuluh Matahari tersebut bersama-sama muncul di angkasa dan menyebabkan Bumi mengalami kekeringan dan panas yang amat sangat.
Pada saat itu, seorang pemuda bernama Hou Yi dengan gagah berani memanjat ke atas Gunung Kun Lun dan dengan panah saktinya memanah sembilan matahari yang ada dan menyisakan hanya satu untuk tetap menerangi dan menghangatkan Bumi.
Atas jasanya tersebut, kaisar menghadiahkan Hou Yi sebotol ramuan awet muda yang dapat membuatnya hidup kekal. Dan tak lama berselang, Hou Yi pun diangkat menjadi kaisar.
Akan tetapi, Hou Yi yang beristrikan Chang’er—seorang wanita yang cantik jelita—lambat laun menjadi sombong dan berlaku kejam.
Mengkhawatirkan apabila suaminya yang kejam hidup kekal, rakyat akan menderita di bawah kekuasaannya, Chang’er pun diam-diam mencuri ramuan awet muda tersebut dan mereguknya hingga habis saat Hou Yi sedang pergi.
Sesaat setelah mereguk cairan tersebut, tubuh Chang’er menjadi ringan dan melayang-layang di udara.
Saat itu, bertepatan dengan bulan delapan tanggal lima belas (Lunar kalender) dan Bulan di langit sedang dalam fase purnamanya.
Mengetahui bahwa dirinya akan melayang semakin jauh dari Bumi, Chang’er segera meraih kelinci kesayangannya, kemudian bersama-sama melayang sampai ke Bulan dan menetap di sana selamanya.
Sejak saat itu, rakyat Tiongkok yang mengetahui pengorbanan Chang’er setiap tahun selalu menyediakan kue, buah-buahan, dan segala makanan kesukaan Chang’er di atas sebuah altar yang di hadapkan ke Bulan sebagai persembahan dan rasa terima kasih kepada Chang’er (sang Dewi Bulan), dan seolah melihat Chang’er dan kelincinya di bulan purnama pada setiap tanggal dan bulan yang sama.
Perjuangan rakyat Tiongkok
Dahulu kala, dikisahkan rakyat Tiongkok hidup menderita di bawah penjajahan Mongol.
Suatu ketika seorang aktivis bernama Zhu Yan Chang bersama deputi seniornya, Liu Po Wen, mendapati suatu cara untuk mengajak rakyat Tiongkok berevolusi merebut kembali kekuasaan Tiongkok. Karena pengawasan yang ketat dari tentara Mongol, pesan yang berisi ajakan untuk memberontak tersebut kemudian ditulis pada kertas dan diselipkan ke dalam kue (berbentuk bulat) untuk dibagi-bagikan kepada rakyat.
Dengan menyamar sebagai pendeta Tao, Liu kemudian menyebarkan isu bahwa barangsiapa yang memakan kue tersebut pada tanggal lima belas bulan delapan Lunar, bertepatan dengan bulan purnama, akan terbebas dari penyakit dan segala kesengsaraannya.
Pada hari yang dimaksud, rakyat pun beramai-ramai memakan kue tersebut dan menemukan pesan serta peta tersembunyi di dalamnya.
Sesuai rencana Zhu dan Liu, mereka bersama-sama melakukan perlawanan dan akhirnya berhasil mengalahkan pasukan Mongol.
Sejak saat itu, setiap tanggal lima belas bulan delapan Lunar, rakyat Tiongkok selalu merayakan Festival Pertengahan Musim Gugur dan menyebut kue berbentuk bulat yang telah berjasa tersebut sebagai ‘kue bulan pertengahan musim gugur/zhong qiu yue bing’.
Makna perayaan
Di masa lalu, perayaan Festival Kue Bulan sangat kental dengan tradisi menyembahyangi Dewi Bulan. Adapun benda-benda persembahan yang wajib ada adalah: kue bulan (dengan bagian tengah berisi kuning telur asin yang melambangkan terang bulan), kue putu wijen (yang bergambar Dewi Bulan), biskuit (dengan bentuk pistol-pistolan, kakek tua, dan ikan), teh, buah pomelo/jeruk bali, dan buah-buahan lainnya.
Sebagai tambahan bagi keluarga yang memiliki anak gadis, persembahan dapat ditambah dengan sekotak bedak bergambar Dewi Bulan yang konon dipercaya dapat membuat si anak gadis tumbuh sehat dan cantik (bagaikan Dewi Bulan) setelah memakainya. Di masa kecil penulis, rangkaian tradisi ini juga kerap diadakan dan dinantikan, bukan hanya sebagai momen pelestarian tradisi nenek moyang, namun lebih kepada kesukacitaan dalam bermain lampion yang beraneka bentuk.
Dewasa ini, selain mengacu pada legenda yang ada, Festival Kue Bulan lebih sering dimaknai sebagai hari berkumpulnya sanak keluarga di saat bulan bersinar paling terang dalam fasenya setahun.
Bulan dan kue yang bulat dalam hal ini memiliki makna kebersamaan (‘bulat—yuan’ dalam tradisi Tionghoa melambangkan keutuhan). Jadi, pada malam berlangsungnya festival, biasanya orang-orang dewasa dan sanak keluarga yang dituakan akan berkumpul, mengobrol sambil memandang bulan serta menikmati kue bulan dengan sepoci teh hangat.
Seiring perubahan zaman, agaknya prosesi menyembahyangi Dewi Bulan pun mulai langka terlihat di negara kita. Begitu juga dengan kegiatan bermain lampion di kalangan anak-anak terlihat mulai tergeser oleh modernisasinya permainan dan tak lagi diminati. Namun meski demikian, tradisi memproduksi dan mengonsumsi kue bulan di setiap pertengahan bulan delapan Lunar tetaplah tak terkikis zaman.
Selain itu, Festival Kue Bulan ternyata juga telah menjadi sebuah momen yang mendekatkan tali silaturahmi antar-masyarakat. Hal ini terbukti menjelang Festival Kue Bulan, masyarakat Tionghoa akan membeli dan menghadiahkan kue bulan kepada sahabat maupun keluarga dekatnya sebagai simbol saling menghormati.
Lebih dari itu, kue bulan yang dahulu diproduksi hanya dengan minyak hewani, belakangan pun telah banyak diproduksi dengan minyak nabati dan berlabel ‘vegetarian’. Dengan demikian, kue bulan dengan aneka bentuk dan warna yang indah serta nikmat, telah menjadi sesuatu yang pun dapat dinikmati oleh semua kalangan dari berbagai etnis dan agama.
Festival Kue Bulan tahun ini jatuh pada tanggal 30 September 2012, mari berharap agar langit cerah pada malam festival tersebut, ya?! Hehehe…! Dan, dengan siapa saja Anda berencana akan memandang indahnya bulan purnama?
Apa pun, semoga Festival Kue Bulan semakin mendekatkan kebersamaan Anda dengan keluarga maupun sahabat.  Happy Mid Autumn Festival!
Medan, bs/medio September 2012
Harian Analisa, Taman Remaja Pelajar, 23 September 2012