Shoutbox

25 December 2013

Natal Putih


Oleh: Liven R

LONCENG istirahat baru saja berbunyi. Sebentar saja ruang kelas III IPA-2 sudah sepi. Seperti biasa, teman-teman pasti sedang menjejali kantin untuk meredam musik keroncong di perut masing-masing.
Tinggal aku sendirian di kelas berteman roti susu yang kubawa dari rumah. Makan atau tidur saja barang limabelas menit? Ah, kalau bukan hari ini ada ulangan Fisika, aku tak akan memaksa untuk masuk.
Kupejamkan mata. Dunia masih terasa berputar.
“Hayo! Pemalas!” Seseorang mencubit pipiku.
Aku membuka mata. Sosok atletis itu tampak memandangku begitu dekat. Refleks, kudorong wajahnya. Dia tertawa.
“Kemarin ke mana?”
“Sakit,” jawabku pelan.
“Oh…, sakit rindu?” tanyanya lagi sambil mengambil duduk di bangku barisan depan, tempat duduk Sanny. “Sebenarnya, kamu tak perlu begitu merindukanku, Erin, toh, kita hanya tak bertemu beberapa hari saja, kamu sudah….”
“Indra!” Aku merasa perlu menghentikan ocehan Indra sebelum dia membuatku mual. “Siapa yang sakit rindu? Aku hanya sedikit demam dan pusing.”
Hening.
Indra menatapku.
 “Ayolah, Erin…, beri aku jawaban. Jadi kekasihku, ya? Aku akan memberimu kado terindah di malam Natal nanti….” Indra menarik tanganku dan memasang mimik serius.
Ups! Lagi-lagi! Mengenal Indra sejak dari bangku SMP, bagiku dia adalah makhluk serba bisa. Ya, Indra bukan hanya pintar di hampir semua mata pelajaran sekolah, tapi juga vokalis grup musik paling bergengsi di sekolah ini. Pastinya, Indra adalah sosok idola dari sekian banyak gadis berok biru maupun abu-abu di sekolah ini. Hanya saja, sifat usilnya belum ada obatnya di dunia!
“Ah!” Kutarik tanganku dari genggamannya. “Aku tak mau. Dasar gombal!”
“Hanya padamu.”
“Buaya!”
“Aku? Buaya?” Indra menunjuk hidungnya. “…hmm, buaya itu bukan sesuatu yang jelek. Buktinya ada penangkaran buaya di negara kita, ‘kan? Kamu pasti senang, sebentar lagi akan bermunculan banyak makhluk seperti aku. Lagipula, ada juga baju yang bermerek ‘Crocodile’. Lumayan, lha....”
“Indra, kamu itu…”
“Tampan? Keren? Aku sudah tahu dan sudah banyak yang memberitahuku, kok.”
“Muka tembok!”
“The Great Wall, dong?”
Indra tertawa senang bagaikan baru menonton film Mr Bean. Aku gondok setengah mati!
“Katakan saja ‘ya’, karena aku tak kuat menerima penolakan lagi….”
Oh, setiap kali berbicara dengan Indra, aku harus berdoa. Dan, doaku terkabul! Lonceng berbunyi!
Indra bangkit untuk kembali ke kelas sebelah, III IPA-1.
“Aku masih menunggu ‘ya’ darimu,” bisiknya sebelum berlalu.
***
Terik di pelataran parkir.
Kulirik jam di pergelangan tangan. Sudah lewat limapuluh menit, Wak Bagus belum juga datang menjemputku. Ponselnya pun tak aktif. Ke manakah dia?
“Non, mau kuantar?”
Kulayangkan pandang ke arah pemilik suara yang duduk di balik setir sedan merah metalik.
“Sudah menunggu lama, ‘kan? Ayo, kuantar….”
            Aku berpikir sejenak. Wak Bagus kemungkinan besar punya urusan lain dan lupa memberitahuku. Ada baiknya aku diantar Indra. Lagipula, limabelas menit lagi mungkin aku akan segera gosong di sini. Tapi…, tunggu dulu! Siapa sosok gadis di sampingnya itu?
“Ehmm…. Sudah satu jam,” ucapku. “…tapi, belum terlalu lama, kok. Tak apa. Aku menunggu di sini saja.” Akhirnya aku menjawab mengingkari keinginan hatiku, demi melihat Ferren mengulaskan senyum untukku dari samping tubuh Indra.
“Astaga! Sudah tigaribu enamratus detik masih dibilang belum terlalu lama? Apa kamu mau menunggu sampai pingsan di sini?”
“Tapi, Wak Bagus sudah dalam perjalanan ke sini, kok.” Aku ternyata berbakat menjadi pengarang!
“Oooo… Benar? Tak nyesal menolak diantar Den Bagus satu ini?”
Apa katanya?! Den Bagus? Yang kumisnya panjang menutupi bibirnya itu? Apanya yang bagus?!
Ferren terbahak sambil memeluk lengan Indra.
“Kesempatan terakhir, nih! Wak Bagus atau Den Bagus?” seru Indra lagi dengan senyumnya.
“Ehm…, ya! Wak Bagus!” Aku mengangguk mantap.
Pun akhirnya mobil merah itu menderu meninggalkanku.
Aku segera berjalan cepat meninggalkan lingkungan sekolah menuju halte terdekat. Semoga saja masih ada angkot yang dapat kutumpangi. Ah, mengapa aku harus menolak tawaran Indra? Bukankah sungguh nyaman duduk di mobilnya daripada kepanasan di sini dan bersesak-sesakan nanti?
Ferren. Mendadak batinku mengeja nama itu. Ternyata apa yang kudengar bukan gosip. Indra memang dekat dengan Ferren sekarang. Berpacarankah mereka? Ah, Ferren yang cantik dan Indra yang tampan, sungguh serasi! Sama-sama berbakat dan vokalis di grup musik sekolah, hanya beda kelompok.
Tapi, entah mengapa dadaku mendadak terasa berat dan sesak, ya? Pelukan Ferren pada lengan Indra tadi. Tatapan manjanya pada Indra. Ada apa ini? Cemburukah aku? Ah, tak mungkin!
Tiga bulan setelah Natal tahun ini, kami akan lulus SMA dan meninggalkan sekolah yang penuh kenangan itu untuk mengejar impian masing-masing. Aku masih ingat Indra pernah mengatakan akan meneruskan kuliah ke Jerman, kota Beethoven, dan mengambil jurusan musik. Sementara aku? Mungkin ke Surabaya atau Yogyakarta. Entahlah…. Pastinya, kami akan berpisah setelah itu.
Bagiku menjalin cinta di masa-masa SMA tak kan bertahan lama. Hanya akan menyisakan kepahitan nantinya. Dan, apa namanya? Cinta monyet—yang konon karena besarnya rasa cinta si monyet pada seekor ikan mas, membuatnya mengeluarkan si ikan mas dari kolamnya dan digantung di pohon untuk ditatapnya tanpa henti, tapi tak disadari rasa cintanya membunuh si ikan mas perlahan dan pasti? Analogi untuk cinta yang menyakitkan!
Lagipula, berapa persentase manusia yang berhasil mempertahankan cinta SMA-nya hingga menjadi pasangan kakek-nenek? Yang kutahu, sembilan puluh persen berakhir menjadi cerita dalam novel-novel roman picisan. Tak Lebih!
Setidaknya aku tahu apa yang dikatakan Indra padaku tadi siang di kelas hanyalah lelucon ala playboy! Huh! Tadi merayuku, sekarang duduk bersisian dengan Ferren, keterlaluan! Aku tak akan begitu bodoh menjadi si ikan mas, mati karena rayuan si monyet, eh, Den Bagus! Ups!
***
Malam Natal.
Pohon cemara yang anggun dengan cahayanya yang gemilang tengah berdiri di dua sisi ruangan. Lonceng keperakan sesekali berdenting mengikuti irama angin yang menyapa. Pantulan cahaya nan indah seakan menyusupkan kedamaian di relung hati terdalam.
Bertahun-tahun, setiap malam Natal aku selalu mengunjungi kapel ini dan mengikuti Misa Natal, sesuatu yang tak akan kulewatkan, terlebih karena grup musik sekolah kami juga turut memeriahkan malam Natal tiga tahun belakangan ini.
“Hai, Erin! Sudah lama?” Sanny merangkulku dari belakang.
“Belum,” jawabku singkat.
“Sudah tahu? Malam ini grup Pioneer tak jadi tampil. Indra terjatuh saat geladi resik tadi sore…,” Sanny mengimbuhkan.
“Apa? Bagaimana keadaannya sekarang?”
“Tenang…, kudengar hanya sedikit cedera di kakinya. Malam ini hanya grup Ferren yang tampil.”
Pantas aku tak melihat Indra dari tadi. Di mana dia sekarang? Sedang kesakitan ataukah sedang bersedih karena tak dapat ikut memeriahkan malam Natal? Mendadak sebersit cemas terbit di hatiku.
Sepeninggalan Sanny, aku segera menyisir lorong-lorong kapel dan mencari sosok Indra. Aneh, bukankah biasanya aku berusaha menghindarinya?
Itu dia! Di undakan depan kapel, Indra yang berpakaian kemeja putih tampak duduk sendirian.
“Hei!”
Indra tak menyahut.
“Hei! Kamu baik-baik saja?”
Indra berpaling kepadaku. “Kamu bicara padaku?”
“Siapa lagi? Di sini hanya ada kita berdua, ‘kan?”
“Ohhh…, tapi aku bukan bernama ‘Hei’.”
Aku mengambil duduk di samping Indra.
“…kalau lain waktu tak tahu namaku, panggil saja ‘Sayang’.”
Kata-kata itu…, ah, syukurlah Indra tak apa-apa.
Aku memandang jauh ke langit malam. Bintang tampak meramaikan kelam. Malaikat di surga pasti sedang berbaris menyambut malam yang kudus ini.
“Erin…,” suara Indra memecah keheningan di antara kami. “Maukah memberiku jawaban di malam yang suci ini?” Indra menatap lekat ke bola mataku. “Aku memang tak dapat menjanjikan malam yang selalu berbintang, juga musim yang selalu semi, tapi maukah saling menjadikan diri sebagai alasan kepulangan kembali di malam Natal dan di kapel ini  kelak, setelah raga kita terpisah antar-negara?”
“Tapi Ferren?” Hanya itu yang terlintas di benakku seketika.
“Ada apa dengan Ferren?” Indra mencubit hidungku. “Dasar tukang gosip! Aku dekat dengannya untuk latihan bersama menyambut Natal ini. Ada yang salah?”
Aku tersenyum. Ada rasa lega mendengar pengakuan Indra. Perlahan Indra menarikku ke dekapannya.
“Merry Christmas…!” bisiknya di sisi telingaku.
Angin berhembus pelan. Suara lonceng berdenting syahdu. Sayup-sayup irama kedamaian membelai kalbu….
Malam kudus…. Sunyi senyap….
***

*Selamat Natal & Tahun Baru kepada teman-teman pembaca yang merayakan!

*Dimuat Harian Analisa, Medan (23 Desember 2012)
*Penulis adalah trainer penulisan;ghostwriter;co-writer

21 December 2013

Kepala Ikan


(Sebuah Dedikasi untuk Mama di Seluruh Dunia)
Oleh: Liven R

            ALKISAH, di sebuah desa nelayan di Tiongkok utara, terdapat sebuah keluarga nelayan yang miskin. Keluarga tersebut terdiri dari enam anggota, yakni Nyonya Zhao dan lima anaknya—empat anak lelaki dan seorang anak perempuan—yang masih kecil. Tuan Zhao telah meninggal dunia dua tahun lalu akibat perahu yang ditumpanginya tenggelam tersapu badai ketika melaut.
            Setelah kematian suaminya, Nyonya Zhao sehari-harinya bekerja mencuci pakaian tetangganya dan membantu membersihkan kapal nelayan yang pulang dari melaut untuk mendapatkan sedikit upah guna menyambung hidup keluarganya dan menyekolahkan anak-anaknya.
Suatu ketika di hari terakhir musim dingin, sesuai tradisi setiap tahun, seluruh penduduk desa tersebut selalu berkumpul bersama keluarga masing-masing dan menikmati makan malam bersama untuk menyambut datangnya Festival Musim Semi (Tahun Baru Imlek).
Sebagai persiapan menyambut festival tersebut, biasanya para nelayan tak pergi melaut selama beberapa hari. Hal ini menyebabkan penghasilan Nyonya Zhao berkurang.
Menjelang malam Festival Musim Semi, dengan berbekal sedikit uang, Nyonya Zhao pergi ke pasar terdekat untuk membeli bahan makanan untuk makan malam keluarganya. Dengan uang yang dimilikinya, Nyonya Zhao hanya mampu membeli sedikit sayuran hijau. Beruntung di tengah perjalanan pulang, Nyonya Zhao bertemu dengan tetangganya yang kemudian menawarkan seekor ikan untuknya secara cuma-cuma.
Berbekal sedikit sayuran hijau dan seekor ikan pemberian tetangganya, Nyonya Zhao kemudian memasak makan malam untuk anak-anaknya. Namun, bagaimana sepiring sayuran hijau dan seekor ikan dapat dibagi untuk enam orang?
Setelah semua anaknya berkumpul di meja makan, Nyonya Zhao kemudian membagikan bagian tubuh ikan tersebut untuk kelima anaknya, sedangkan ia sendiri mengambil bagian kepala ikan.
“Mengapa Ibu tak mengambil bagian tubuh ikan dan hanya mengambil kepalanya saja?” putra sulung Nyonya Zhao bertanya.
“Anakku, kepala ikan adalah kesukaan Ibu. Dan bagi Ibu, kepala ikan adalah bagian yang paling enak,” jawab Nyonya Zhao sambil tersenyum.
Dengan demikian, malam itu mereka juga makan dan berkumpul bersama dengan gembira meskipun dengan lauk seadanya. Dan tanpa persiapan baju baru, mereka tetap melewati Festival Musim Semi dengan gembira.
***
WAKTU bergerak dengan cepat. Empat puluh tahun terlewatkan. Kini, Nyonya Zhao telah berusia 75 tahun dan anak-anaknya telah berkeluarga dan hidup mapan.
Suatu hari, anak-anak dan menantu Nyonya Zhao berunding untuk mengadakan pesta ulang tahun yang ke-75 untuknya. Dan akhirnya disepakati untuk merayakan ulang tahun tersebut di sebuah restoran mewah.
Pada hari ulang tahunnya, dengan dituntun anak dan menantunya Nyonya Zhao berjalan menuju meja yang disediakan untuknya.
Setelah semua undangan hadir, pelayan restoran segera menghidangkan menu yang dipesan. Pada saat penutup hidangan dibuka, alangkah terkejutnya Nyonya Zhao saat melihat sebuah kepala ikan yang besar berada di dalamnya.
“Ibu, kami sengaja memesan kepala ikan ini untuk Ibu, karena kami tahu sejak dulu Ibu paling menyukai kepala ikan,” ucap putri bungsu Nyonya Zhao.
Nyonya Zhao tersenyum kemudian menitikkan airmata.

“Anak-anakku, tahukah kalian aku sesungguhnya tak pernah menyukai kepala ikan? Di masa dulu karena kemiskinan kita, aku harus berbohong kepada kalian setiap kali kita hanya memiliki seekor ikan untuk dimakan berenam. Aku berbohong bahwa aku menyukai kepala ikan, agar kalian dapat makan dengan tenang dan sedikit lebih kenyang dengan bagianku. Kini setelah kalian berpenghasilan cukup dan hidup sukses, apakah aku masih harus memakan kepala ikan?” tanya Nyonya Zhao sambil bercanda kepada anak-anaknya.

***
KASIH sayang seorang ibu kepada anak-anaknya adalah demikian besarnya sehingga ia rela mengorbankan kesenangan diri sendiri demi kebahagiaan anak-anaknya. Dalam perannya, ibu selalu berusaha menelan bagian yang pahit bagi dirinya sendiri dan menyisakan bagian yang manis untuk anak-anaknya.
Sebagai anak, kita hendaknya senantiasa berusaha untuk membalas budi besar ibu meskipun ibu tak pernah mengingatkan kita untuk melakukan hal tersebut.
Semoga dengan selalu mengingat dan membalas budi besar ibu, hamparan permadani surga di bawah telapak kaki ibu senantiasa terbentang menyambut setiap langkah kaki kita.

***
Telah dimuat Harian Analisa, Medan

13 October 2013

Arti Penting Sahabat



Oleh: Liven R
SEBAGAI makhluk sosial, kita senantiasa memerlukan teman atau sahabat sebagai tempat bermain, berbagi cerita (di saat senang dan susah), maupun tempat kita belajar selama menjalani proses kehidupan kita.
Sesungguhnya, untuk ‘berteman’ dengan seseorang, kita hanya butuh waktu beberapa menit saja. Ya, mulailah dengan berkenalan, saling menyapa untuk mengetahui sedikit informasi diri seperti umur dan pekerjaan, jadilah teman! Namun, lain halnya dengan ‘sahabat’. Untuk mendapatkan/memberi label ‘sahabat’, kita membutuhkan waktu seumur hidup untuk mengenali dan membina hubungan pertemanan yang telah ada agar dapat naik ke jenjang yang mana telah pantas disebut ‘sahabat’.
‘Bahwa pertemanan harus membawa dampak positif dan berinteraksi secara positif juga’, demikian sebaris kalimat yang ditulis Reni Erina—Editor Majalah Story—pada status FB-nya beberapa waktu yang lalu saat dia mengaku sedang menghapus beberapa teman FB-nya.
Bagi penulis, kalimat tersebut terdengar sederhana, namun mengandung arti yang mendalam, dan penulis pribadi amat setuju dengan pernyataan tersebut. Mengapa?
Pada dasarnya, sahabat terbagi dua jenis, yakni kalyana mitta dan akalyana mitta—Bahasa Pali, yang berarti sahabat sejati dan sahabat palsu.
Dalam kehidupan sehari-hari, sahabat sejati dapat kita labelkan langsung kepada orangtua dan para guru kita, sebab kita tahu pasti bahwa orangtua dan guru adalah orang-orang yang senantiasa membantu mengatasi kesulitan kita tanpa pamrih dan tak pernah menjerumuskan kita.
Selain guru dan orangtua, tentunya masih terdapat orang-orang yang layak disebut sahabat sejati, yakni mereka yang senantiasa mengajarkan kita hal-hal baik dan selalu mengharapkan kebaikan kita, serta ikut gembira ketika kita mampu mencapai suatu kemajuan dalam hidup.
Lantas bagaimana ciri-ciri sahabat palsu?
Ketika baru memulai sebuah pertemanan, kita tentu tak dapat memastikan dengan cepat dan tepat siapa dan bagaimana sesungguhnya teman baru kita. Seiring waktu (jika kita jeli) biasanya sikap dan sifat bawaan seseorang akan mulai terlihat dan semakin lama akan semakin jelas.
Tak terelakkan bahwa sering kita akan bertemu teman dengan sifat yang beragam, di antaranya yang memiliki sifat ‘pelit’ hingga mendekati ‘kikir’, teman yang hanya ingat untuk bertanya ‘apa kabar?’ ketika dia sedang membutuhkan pertolongan kita, teman yang suka menggosip untuk mengisi waktu luangnya, hingga teman yang siang dan malam ahli mengeluh dengan bahasa melankolis nan lebay bin alaynya. (Hehehe…)
Profesional Muda, disadari atau tidak, ketika kita berinteraksi dan bergaul dengan seseorang/sekelompok orang di suatu lingkungan dalam jangka waktu tertentu secara terus-menerus, meskipun sifat dasar kita sulit terpengaruh, namun perilaku kita lambat-laun akan terpengaruh dan menjadi mirip dengan perilaku orang-orang dalam lingkungan tersebut.
Sederhananya, ketika berada di lingkungan dengan manusia yang berperilaku baik, seseorang akan belajar kebaikan, demikian juga sebaliknya. Selain itu, manusia sering mengubah perilakunya dan meniru perilaku orang lain demi mendapatkan pengakuan dari orang-orang di lingkungan pergaulannya.
Jika dalam pergaulan, kita terpengaruh menjadi sedikit pelit, senang menggosip dan suka mengeluh, tentunya masih wajar selagi hal tersebut tak sampai merugikan orang lain (dan jika bisa tentu saja jangan sama sekali). Namun, menjadi penting dan harus dihindari ketika pergaulan tersebut telah membawa perubahan besar dalam hidup, apalagi menjurus ke hal-hal negatif yang membawa keresahan dalam keluarga dan masyarakat.
Sebuah kisah nyata dari seorang relawan Yayasan Buddha Tzu Chi (yang telah difilmkan dan dirilis oleh DAAI TV sebagai drama seri keteladanan) berikut ini mungkin bisa menyadarkan kita betapa pentingnya memilih teman dalam bergaul:
Sejak kecil AB (lelaki) sering dimarahi dan dipukul ayahnya karena hal-hal sepele. Kasih sayang yang kurang dari ayahnya, membuat AB tertekan dan kecewa dengan kehidupannya. Satu-satunya orang yang selalu menjadi tempatnya mengadu resah hanyalah neneknya.
Singkat cerita, beranjak dewasa AB pun mulai bekerja dengan penghasilan yang minim. Dan oleh seorang sahabatnya, dia kemudian dijanjikan pekerjaan yang lebih baik, namun harus meninggalkan kampung halaman dan tentunya jauh dari neneknya yang tercinta. Namun, untuk membuktikan kepada ayahnya bahwa dia sanggup menjadi manusia yang berguna, dia pun membulatkan tekadnya untuk pergi menyongsong masa depannya.
Sesampainya di kota, AB baru menyadari pekerjaan yang dijanjikan temannya ternyata adalah sebagai kurir narkoba! Untuk kembali, rasanya amat berat karena gengsinya terhadap ayahnya. Ditambah dengan bujukan teman-teman pada geng ‘hitam’ tersebut, akhirnya kurir narkoba pun dilakoni AB.
Hampir setiap malam, ‘teman-teman baik’nya mempertunjukkan dan mengajarinya bagaimana cara mengonsumsi minuman keras (miras) dan narkoba. Anda tahu? Ketika seseorang telah mengonsumsi narkoba, maka dialah calon pelaku serangkaian hal buruk lainnya. Ya, AB menceritakan tak ada satu hal buruk apa pun yang tak pernah dia lakukan kala itu. Mencuri di mobil yang sedang diparkir, berlari dari kejaran polisi, merampok, dan berkelahi ala Street Fighter, adalah kesehariannya.
Masuk penjara dan panti rehabilitasi? Itu pun sudah menjadi langganannya! Bahkan ketika neneknya yang tercinta wafat, dia harus pulang dengan mengendap-endap karena sedang menjadi buronan kepolisian.
Profesional Muda, AB sesungguhnya letih menghadapi kehidupannya yang demikian kacau. Berkali-kali dipenjara, berkali-kali dia merenung dan bertekad untuk kembali ke jalan yang benar jika dia bebas nanti. Namun, setiap kali bebas, wajah pertama yang dijumpai adalah wajah teman-teman dari geng hitamnya. “Kita saudara! Kesulitanmu adalah kesulitanku. Kalau kamu tak mau bergabung lagi dengan kami, itu berarti kamu tak setia kawan! Mari merayakan kebebasanmu dengan minum. Saya yang traktir!” ucapan inilah yang selalu membuat AB kembali berkubang dalam lumpur yang sama.
Berapa banyakkah di antara kita yang selalu mengaku teman dan sahabat bagi orang lain, namun dalam kenyataannya justru menjerumuskan?
Sesungguhnya dalam kasus AB, tak ada yang salah dalam dirinya, ‘pergaulan’ dan ‘sahabat’ yang salahlah yang telah menjerumuskannya!
Dewasa ini, banyak yang berpendapat, tak merokok, tak bisa minum miras, tak tahu mengonsumsi narkoba, berjudi, mengunjungi prostitusi, dan sebagainya, ketinggalan zaman! Bisa merokok, seks bebas, gonta-ganti pasangan hidup, mampu mengonsumsi miras dan narkoba, keren abis!
Profesional Muda, adakah seseorang yang mengaku sahabat Anda mengatakan hal seperti di atas kepada Anda? Jika ada, sanggupkah Anda mengatakan padanya ‘itu salah!’ dan membawanya kembali ke pemahaman yang benar sejatinya? Jika tak sanggup, segeralah angkat kaki dan menjauhlah! Sebab, alih-alih berebut gelar ‘sampah masyarakat’, kita perlu mengasihani diri sendiri dan juga orangtua kita yang telah bersusah payah membesarkan kita!
Ya, bagaimana pun kita adalah manusia biasa. Ketika kita tak sanggup berperan layaknya malaikat yang mampu menyadarkan, maka kita selalu punya pilihan untuk menyelamatkan diri dan tak ikut berbuat yang tak baik. Dan, kita sesungguhnya tak membutuhkan pengakuan ‘setia kawan’ dari orang-orang yang tak menghargai jasmaninya dan arti hidup sesungguhnya.
Kembali ke kisah AB, keluar dari penjara di kali terakhirnya, dia bertekad tidak menemui ‘teman-teman baik’nya terlebih dahulu, melainkan pergi menemui seorang relawan Tzu Chi yang pernah membimbingnya selama di penjara dan mendaftarkan diri menjadi relawan juga. Namun ini tentu tak mudah. Teman-temannya terus berusaha menyeretnya kembali ke jalan ‘hitam’ dengan berbagai cara halus maupun ancaman. Ya, istilah ‘sekali salah jalan, seseorang sulit untuk kembali’ agaknya berlaku juga pada AB.
“Aku kini mengabdikan diri untuk kebaikan orang lain. Apa pun, aku tak ‘kan kembali bersama kalian, meskipun kamu membunuhku!” demikian ucap AB kepada temannya di bawah ancaman pisau di lehernya.
Tak mendapatkan respon, akhirnya teman-temannya pun tak lagi berminat terhadap AB. Sejak itu, AB menjadi relawan Tzu Chi dan rutin mengadakan kunjungan kasih di penjara Taiwan dan menjadi sosok keteladanan bagi para pecandu narkoba yang sedang menjalani masa rehabilitasi narkoba melalui kisah hidupnya.
Kisah AB menunjukkan kepada kita, terhadap sahabat (palsu) yang tak membawa kebaikan bahkan cenderung mendukung perbuatan kita yang salah dan mengajarkan hal-hal yang tak bermanfaat, kita harus mampu mengatakan ‘tidak!’. Dan, meskipun kita pernah salah dalam bergaul dan pernah terjerumus, selalu ada kesempatan untuk kembali ke jalan yang benar asalkan kita bertekad untuk bertobat.
Sahabat yang baik adalah sahabat yang membawa ke arah kebaikan, mencegah kita berbuat salah dan senantiasa mengingatkan ketika langkah kita mulai menyimpang. Profesional Muda, sudahkah Anda bergaul dengan kalyana mitta dan berperan sebagai kalyana mitta? Semoga kita semua mampu menjadi individu kebanggaan keluarga dan masyarakat!
*Penulis adalah trainer penulisan
Dimuat Analisa, TRP, 4 Agustus 2013

08 September 2013

Harmoni dalam Festival Kue Bulan



Oleh: Liven R
PROFESIONAL Muda, dalam keharmonisan pembauran etnis dan kemajemukan budaya di Indonesia, Anda tentu pernah mendengar Festival Kue Bulan/Festival Pertengahan Musim Gugur (Mid Autumn Festival/Zhong Qiu Jie), yang mana dirayakan oleh etnis Tionghoa pada bulan delapan tanggal lima belas—kalender Lunar—bertepatan dengan terjadinya fase bulan purnama.
Meski berasal dan dilestarikan secara turun-temurun di Tiongkok, festival ini juga dirayakan oleh masyarakat etnis Tionghoa peranakan di seluruh dunia, termasuk Indonesia, dengan berpedoman pada kalender Lunar.
Di Indonesia, perayaan Festival Kue Bulan biasanya selalu diisi dengan berbagai acara dan kemeriahan yang berbeda-beda. Beberapa restoran maupun tempat wisata, bahkan menawarkan berbagai alternatif hiburan dalam merayakan festival ini.
Bagaimana sesungguhnya asal mula diadakannya Festival Kue Bulan?
Dalam legendanya di Tiongkok, terdapat dua versi yang menceritakan asal mula Festival Kue Bulan. Mari simak, ya?!
Chang’er terbang ke bulan
Dikisahkan, pada zaman dahulu langit memiliki sepuluh buah Matahari. Suatu ketika, sepuluh Matahari tersebut bersama-sama muncul di angkasa dan menyebabkan Bumi mengalami kekeringan dan panas yang amat sangat.
Pada saat itu, seorang pemuda bernama Hou Yi dengan gagah berani memanjat ke atas Gunung Kun Lun dan dengan panah saktinya memanah sembilan matahari yang ada dan menyisakan hanya satu untuk tetap menerangi dan menghangatkan Bumi.
Atas jasanya tersebut, kaisar menghadiahkan Hou Yi sebotol ramuan awet muda yang dapat membuatnya hidup kekal. Dan tak lama berselang, Hou Yi pun diangkat menjadi kaisar.
Akan tetapi, Hou Yi yang beristrikan Chang’er—seorang wanita yang cantik jelita—lambat laun menjadi sombong dan berlaku kejam.
Mengkhawatirkan apabila suaminya yang kejam hidup kekal, rakyat akan menderita di bawah kekuasaannya, Chang’er pun diam-diam mencuri ramuan awet muda tersebut dan mereguknya hingga habis saat Hou Yi sedang pergi.
Sesaat setelah mereguk cairan tersebut, tubuh Chang’er menjadi ringan dan melayang-layang di udara.
Saat itu, bertepatan dengan bulan delapan tanggal lima belas (Lunar kalender) dan Bulan di langit sedang dalam fase purnamanya.
Mengetahui bahwa dirinya akan melayang semakin jauh dari Bumi, Chang’er segera meraih kelinci kesayangannya, kemudian bersama-sama melayang sampai ke Bulan dan menetap di sana selamanya.
Sejak saat itu, rakyat Tiongkok yang mengetahui pengorbanan Chang’er setiap tahun selalu menyediakan kue, buah-buahan, dan segala makanan kesukaan Chang’er di atas sebuah altar yang di hadapkan ke Bulan sebagai persembahan dan rasa terima kasih kepada Chang’er (sang Dewi Bulan), dan seolah melihat Chang’er dan kelincinya di bulan purnama pada setiap tanggal dan bulan yang sama.
Perjuangan rakyat Tiongkok
Dahulu kala, dikisahkan rakyat Tiongkok hidup menderita di bawah penjajahan Mongol.
Suatu ketika seorang aktivis bernama Zhu Yan Chang bersama deputi seniornya, Liu Po Wen, mendapati suatu cara untuk mengajak rakyat Tiongkok berevolusi merebut kembali kekuasaan Tiongkok. Karena pengawasan yang ketat dari tentara Mongol, pesan yang berisi ajakan untuk memberontak tersebut kemudian ditulis pada kertas dan diselipkan ke dalam kue (berbentuk bulat) untuk dibagi-bagikan kepada rakyat.
Dengan menyamar sebagai pendeta Tao, Liu kemudian menyebarkan isu bahwa barangsiapa yang memakan kue tersebut pada tanggal lima belas bulan delapan Lunar, bertepatan dengan bulan purnama, akan terbebas dari penyakit dan segala kesengsaraannya.
Pada hari yang dimaksud, rakyat pun beramai-ramai memakan kue tersebut dan menemukan pesan serta peta tersembunyi di dalamnya.
Sesuai rencana Zhu dan Liu, mereka bersama-sama melakukan perlawanan dan akhirnya berhasil mengalahkan pasukan Mongol.
Sejak saat itu, setiap tanggal lima belas bulan delapan Lunar, rakyat Tiongkok selalu merayakan Festival Pertengahan Musim Gugur dan menyebut kue berbentuk bulat yang telah berjasa tersebut sebagai ‘kue bulan pertengahan musim gugur/zhong qiu yue bing’.
Makna perayaan
Di masa lalu, perayaan Festival Kue Bulan sangat kental dengan tradisi menyembahyangi Dewi Bulan. Adapun benda-benda persembahan yang wajib ada adalah: kue bulan (dengan bagian tengah berisi kuning telur asin yang melambangkan terang bulan), kue putu wijen (yang bergambar Dewi Bulan), biskuit (dengan bentuk pistol-pistolan, kakek tua, dan ikan), teh, buah pomelo/jeruk bali, dan buah-buahan lainnya.
Sebagai tambahan bagi keluarga yang memiliki anak gadis, persembahan dapat ditambah dengan sekotak bedak bergambar Dewi Bulan yang konon dipercaya dapat membuat si anak gadis tumbuh sehat dan cantik (bagaikan Dewi Bulan) setelah memakainya. Di masa kecil penulis, rangkaian tradisi ini juga kerap diadakan dan dinantikan, bukan hanya sebagai momen pelestarian tradisi nenek moyang, namun lebih kepada kesukacitaan dalam bermain lampion yang beraneka bentuk.
Dewasa ini, selain mengacu pada legenda yang ada, Festival Kue Bulan lebih sering dimaknai sebagai hari berkumpulnya sanak keluarga di saat bulan bersinar paling terang dalam fasenya setahun.
Bulan dan kue yang bulat dalam hal ini memiliki makna kebersamaan (‘bulat—yuan’ dalam tradisi Tionghoa melambangkan keutuhan). Jadi, pada malam berlangsungnya festival, biasanya orang-orang dewasa dan sanak keluarga yang dituakan akan berkumpul, mengobrol sambil memandang bulan serta menikmati kue bulan dengan sepoci teh hangat.
Seiring perubahan zaman, agaknya prosesi menyembahyangi Dewi Bulan pun mulai langka terlihat di negara kita. Begitu juga dengan kegiatan bermain lampion di kalangan anak-anak terlihat mulai tergeser oleh modernisasinya permainan dan tak lagi diminati. Namun meski demikian, tradisi memproduksi dan mengonsumsi kue bulan di setiap pertengahan bulan delapan Lunar tetaplah tak terkikis zaman.
Selain itu, Festival Kue Bulan ternyata juga telah menjadi sebuah momen yang mendekatkan tali silaturahmi antar-masyarakat. Hal ini terbukti menjelang Festival Kue Bulan, masyarakat Tionghoa akan membeli dan menghadiahkan kue bulan kepada sahabat maupun keluarga dekatnya sebagai simbol saling menghormati.
Lebih dari itu, kue bulan yang dahulu diproduksi hanya dengan minyak hewani, belakangan pun telah banyak diproduksi dengan minyak nabati dan berlabel ‘vegetarian’. Dengan demikian, kue bulan dengan aneka bentuk dan warna yang indah serta nikmat, telah menjadi sesuatu yang pun dapat dinikmati oleh semua kalangan dari berbagai etnis dan agama.
Festival Kue Bulan tahun ini jatuh pada tanggal 30 September 2012, mari berharap agar langit cerah pada malam festival tersebut, ya?! Hehehe…! Dan, dengan siapa saja Anda berencana akan memandang indahnya bulan purnama?
Apa pun, semoga Festival Kue Bulan semakin mendekatkan kebersamaan Anda dengan keluarga maupun sahabat.  Happy Mid Autumn Festival!
Medan, bs/medio September 2012
Harian Analisa, Taman Remaja Pelajar, 23 September 2012

09 August 2013

Aku dan Engkau



Liven R
Engkau nafas, aku kehidupan
menyatu kita dalam sua sore itu
tujuhbelas purnama silam
bersama sebuah episode dimulai
dengan seribu kisah pemercik warna…

aku tahu…
diri bukan pemilik sempurna
namun, selalu engkau tersempurna di bilik jiwa
menggapai asa itu hanya bila
nafas masih bagian kehidupan
sadarkah senyum ini,
‘kan tetap melukis sudut bibir
hanya kala kita satu walau kilau itu teramat silau?

engkau nafas, aku kehidupan
engkau tiada, aku pun sirna…. 

Tes THT



Meli mengunjungi praktek dokter Irsan untuk memeriksakan kesehatan THT-nya.
Baru saja memasuki ruang praktek, terdengar suara ‘pyuuutttt…!’. Meli segera menutup hidungnya dan melotot ke arah dokter Irsan.
Dokter Irsan: (tersenyum malu) Baguslah…! Itu artinya telinga dan hidungmu masih berfungsi dengan baik.
Liven R, Harian Analisa 8 April 2012