(Sebuah
Dedikasi untuk Mama di Seluruh Dunia)
Oleh: Liven R
ALKISAH,
di sebuah desa nelayan di Tiongkok utara, terdapat
sebuah keluarga nelayan yang miskin. Keluarga tersebut terdiri dari enam
anggota, yakni Nyonya Zhao dan lima anaknya—empat anak lelaki dan seorang anak
perempuan—yang masih kecil. Tuan Zhao telah meninggal dunia dua tahun lalu
akibat perahu yang ditumpanginya tenggelam tersapu badai ketika melaut.
Setelah kematian suaminya, Nyonya
Zhao sehari-harinya bekerja mencuci pakaian tetangganya dan membantu
membersihkan kapal nelayan yang pulang dari melaut untuk mendapatkan sedikit
upah guna menyambung hidup keluarganya dan menyekolahkan anak-anaknya.
Suatu ketika di hari terakhir musim dingin, sesuai tradisi setiap
tahun, seluruh penduduk desa tersebut selalu berkumpul bersama keluarga
masing-masing dan menikmati makan malam bersama untuk menyambut datangnya
Festival Musim Semi (Tahun Baru Imlek).
Sebagai persiapan menyambut festival tersebut, biasanya para nelayan
tak pergi melaut selama beberapa hari. Hal ini menyebabkan penghasilan Nyonya
Zhao berkurang.
Menjelang malam Festival Musim Semi, dengan berbekal sedikit uang,
Nyonya Zhao pergi ke pasar terdekat untuk membeli bahan makanan untuk makan
malam keluarganya. Dengan uang yang dimilikinya, Nyonya Zhao hanya mampu
membeli sedikit sayuran hijau. Beruntung di tengah perjalanan pulang, Nyonya
Zhao bertemu dengan tetangganya yang kemudian menawarkan seekor ikan untuknya
secara cuma-cuma.
Berbekal sedikit sayuran hijau dan seekor ikan pemberian
tetangganya, Nyonya Zhao kemudian memasak makan malam untuk anak-anaknya.
Namun, bagaimana sepiring sayuran hijau dan seekor ikan dapat dibagi untuk enam
orang?
Setelah semua anaknya berkumpul di meja makan, Nyonya Zhao kemudian
membagikan bagian tubuh ikan tersebut untuk kelima anaknya, sedangkan ia
sendiri mengambil bagian kepala ikan.
“Mengapa Ibu tak mengambil bagian tubuh ikan dan hanya mengambil
kepalanya saja?” putra sulung Nyonya Zhao bertanya.
“Anakku, kepala ikan adalah kesukaan Ibu. Dan bagi Ibu, kepala ikan
adalah bagian yang paling enak,” jawab Nyonya Zhao sambil tersenyum.
Dengan demikian, malam itu mereka juga makan dan berkumpul bersama
dengan gembira meskipun dengan lauk seadanya. Dan tanpa persiapan baju baru,
mereka tetap melewati Festival Musim Semi dengan gembira.
***
WAKTU bergerak dengan cepat. Empat puluh tahun terlewatkan. Kini,
Nyonya Zhao telah berusia 75 tahun dan anak-anaknya telah berkeluarga dan hidup
mapan.
Suatu hari, anak-anak dan menantu Nyonya Zhao berunding untuk
mengadakan pesta ulang tahun yang ke-75 untuknya. Dan akhirnya disepakati untuk
merayakan ulang tahun tersebut di sebuah restoran mewah.
Pada hari ulang tahunnya, dengan dituntun anak dan menantunya Nyonya
Zhao berjalan menuju meja yang disediakan untuknya.
Setelah semua undangan hadir, pelayan restoran segera menghidangkan
menu yang dipesan. Pada saat penutup hidangan dibuka, alangkah terkejutnya
Nyonya Zhao saat melihat sebuah kepala ikan yang besar berada di dalamnya.
“Ibu, kami sengaja memesan kepala ikan ini untuk Ibu, karena kami
tahu sejak dulu Ibu paling menyukai kepala ikan,” ucap putri bungsu Nyonya
Zhao.
Nyonya Zhao tersenyum kemudian menitikkan airmata.
“Anak-anakku, tahukah kalian
aku sesungguhnya tak pernah menyukai kepala ikan? Di masa dulu karena kemiskinan kita, aku harus berbohong kepada
kalian setiap kali kita hanya memiliki seekor ikan untuk dimakan berenam. Aku
berbohong bahwa aku menyukai kepala ikan, agar kalian dapat makan dengan tenang
dan sedikit lebih kenyang dengan bagianku. Kini setelah kalian berpenghasilan
cukup dan hidup sukses, apakah aku masih harus memakan kepala ikan?” tanya
Nyonya Zhao sambil bercanda kepada anak-anaknya.
***
KASIH sayang seorang ibu kepada anak-anaknya adalah demikian
besarnya sehingga ia rela mengorbankan kesenangan diri sendiri demi kebahagiaan
anak-anaknya. Dalam perannya, ibu selalu berusaha menelan bagian yang pahit
bagi dirinya sendiri dan menyisakan bagian yang manis untuk anak-anaknya.
Sebagai anak, kita hendaknya senantiasa berusaha untuk membalas budi
besar ibu meskipun ibu tak pernah mengingatkan kita untuk melakukan hal
tersebut.
Semoga dengan selalu mengingat dan membalas budi besar ibu, hamparan
permadani surga di bawah telapak kaki ibu senantiasa terbentang menyambut
setiap langkah kaki kita.
***
Telah dimuat Harian Analisa, Medan
No comments:
Post a Comment