Shoutbox

05 January 2014

Terompet Tahun Baru


Oleh: Liven R
SUDAH dua hari Ardi melihat penjual terompet Tahun Baru mangkal di depan rumahnya. Terompet aneka ukuran dengan kertas warna-warni yang menarik itu membuat Ardi ingin memilikinya. Siang ini, ketika penjual terompet itu datang lagi, Ardi memberanikan diri keluar dan bertanya harga terompet itu.
“Hanya 15.000 rupiah, Nak,” ujar abang penjual terompet itu.
“Tunggu, ya, Bang.”
Ardi bergegas masuk ke rumah dan mengeluarkan kaleng susu bekas tempat dia menyimpan sisa uang jajannya selama ini. Dihitungnya uang itu.
“Ah, tidak cukup,” desahnya. Setelah dihitung ternyata Ardi hanya memiliki 12.000 rupiah saja. Masih kurang 3.000 rupiah.
Sesaat, Ardi keluar menemui abang penjual terompet kembali.
“Bang, uangku tak cukup. Kembali lagi besok, ya, Bang?”
Abang penjual terompet tersenyum dan mengangguk.
Ardi memandang terompet itu dan membayangkan memiliki salah satu terompet berwarna biru yang tergantung itu. Oh, liburan sekolah beberapa hari ini membuatnya tidak mendapatkan uang jajan dari Ayah. Bagaimana mengumpulkan uang 3.000 rupiah itu?
Malam hari Ardi terus menunggu Ayah pulang. Dia ingin meminta tambahan uang kepada Ayah. Tapi malam ini Ayah tidak pulang cepat. Kata Ibu, Ayah menelepon dan mengatakan malam ini akan pulang larut karena akan mengantar penumpang ke tempat yang sangat jauh. Ayah Ardi adalah seorang supir taksi.
Kelelahan menunggu, akhirnya Ardi tertidur sebelum ayahnya pulang.
Esok hari, Ardi baru bangun menjelang pukul 08.00 WIB, setelah dibangunkan Ibu. Setengah tergesa, Ardi berlari keluar dari kamar menuju ruang keluarga.
“Selamat pagi, Ibu. Di mana Ayah?”
“Ayah sudah berangkat kerja sejak tadi, Ardi, “ ucap Ibu.
“Ada apa, Ardi?” tanya Ibu penasaran.
Ardi hanya menggeleng. “Tidak ada, Bu. Ardi akan mandi sekarang,” ucap Ardi.
“Baiklah. Selesai mandi segera sarapan,” jawab Ibu.
Terompet Tahun Baru 
Teeeetttttt….! Teeeettttt…! Teeeettt…!
Menjelang siang bunyi terompet kembali terdengar. Abang penjual terompet datang lagi. Ardi memandang keluar dari balik jendela. Terompet warna-warni yang tergantung itu membuatnya sedih karena dia tidak bisa membelinya.
Dari jendela, Ardi juga melihat Bu Evi sedang kerepotan menenteng beberapa keranjang dan kantong plastik berukuran besar. Beberapa kali keranjang itu hampir jatuh. Kantong-kantong plastik diletakkan Bu Evi di bangku teras rumahnya. Bu Evi tampak kebingungan.
Ardi segera keluar menghampiri Bu Evi. “Mari kubantu, Bu,” seru Ardi dengan gembira.
“Ah, Ardi, terima kasih…. Kue-kue ini dipesan oleh tetangga di seberang jalan sana. Ibu kesulitan membawanya sendirian,” ucap Bu Evi. “Untung ada Ardi.”
Sebuah keranjang kecil dan sebuah kantong plastik berisi kue segera ditenteng Ardi. Dia berjalan mengikuti Bu Evi menuju ke seberang jalan. Setelah menyerahkan pesanan, mereka kembali.
“Ardi, terima kasih sudah membantu Ibu. Ini untuk tambahan uang jajanmu,” ucap Bu Evi sambil menyodorkan sehelai uang 5.000 rupiah kepada Ardi.
Ardi memandang uang itu dan menggeleng. Dia ingat ayahnya selalu mengajarkan membantu orang lain tak boleh pamrih atau mengharapkan imbalan.
Bu Evi tersenyum dan mengelus kepala Ardi. “Tak mengapa, Ardi. Terimalah…,” ucap Bu Evi lagi.
Akhirnya, Ardi menerima uang itu setelah Bu Evi memaksanya. Sebelum memasuki rumah, Ardi melihat abang penjual terompet masih mangkal di sisi jalan. Ardi teringat uang pemberian Bu Evi. Segera dia berlari ke dalam rumah dan mengeluarkan uang tabungannya. Kini, dengan uang tabungannya ditambah pemberian Bu Evi, dia bisa membeli terompet biru itu.
Teeeeeetttttt…! Selamat Tahun Baru!***

Diterbitkan Harian Analisa (Taman Riang), 5 Januari 2014