Shoutbox

17 August 2014

MERDEKA!


Oleh: Liven R
INDRI menatap angka 3 yang berada di samping kiri angka 5 warna merah yang berdiri malu-malu di atas kertas ulangan Matematikanya. Buru-buru dilipatnya kertas itu dan dimasukkan asal ke dalam laci saat dilihatnya geng KIMOY memasuki kelas.
“In, wajah kusut begini, ada apa?”
“Yuhu!” Mendadak Yolanda berseru kegirangan atas angka 98 yang bertakhta angkuh di kertas ulangannya. Yang lain segera memeriksa meja masing-masing dan tersenyum lebar. Hanya Indri yang memiliki wajah belum disetrika!
Medi kembali melirik Indri. “In, dapat berapa?”
Dengan enggan Indri mengangkat tiga jari tangan kiri dan lima jari tangan kanannya.
“Limapuluh tiga?”
Indri menggeleng kuat hingga pipinya yang tembam terguncang. Yolanda, yang terkenal paling pintar di seantero murid kelas satu SMA Satya Negara, tampak memekik tanpa suara dan menutup mulutnya yang menganga dengan tangannya.
“Bagaimana, dong? Aku sudah belajar keras selama dua minggu ini, bahkan sampai jam dua dini hari, hasilnya tetap saja begini….” Indri memasak mimik paling menyedihkan sedunia.
“Yo, bagaimana kalau kamu bantu Indri?”
“Mengajari Indri, maksudmu?” Yolanda memandang pada Karen yang berwajah manis.
Seketika, Indri membelalakkan mata. Secercah harapannya untuk dapat menceraikan predikat ‘pelanggan nilai merah Matematika’ terbit di ufuk Utara hatinya. “Yo, mau, ya? Ajari aku, ya?!”
Yolanda menggaruk kepalanya sejenak. “Bagaimana, ya?”
“Asal nilai Matematikaku tak lagi merah, aku akan melakukan apa pun untukmu nanti…”
“Apa pun?”
“Ya, apa pun!”
Yolanda tersenyum.
“Hidup KIMOY! Hidup Karen, Indri, Medi, Olga, Yolanda! Yes!” Serentak mereka berpelukan. Sementara yang lain sibuk dengan bekal makan masing-masing, berkat geng KIMOY, kelas I-IPA I seketika menjadi ramai bak pasar pagi.
***
Jam istirahat.
Kertas ulangan itu masih terbuka di atas meja dengan dua angka kebanggaan Indri menghadap ke luar, memungkinkan siapa pun yang lewat untuk melihatnya. Ya, melihat betapa roda kehidupan itu selalu berputar dan Indri pun ada kalanya memiliki nilai hitam atas Matematikanya! Tak melulu nilai merah, lho! Batin Indri sibuk cekikikan.
“Terima kasih….” Terhitung telah belasan kali Indri tersenyum bangga atas ucapan selamat yang dilontarkan teman-teman sekelasnya yang lewat dan melihat hasil perjuangannya bersama Yolanda, meski nilai yang didapat hanya ‘cukup’ dan bertengger tepat di batas nilai Kriteria Ketuntasan Minimal, yakni enampuluh lima. Tapi, ini harus dirayakan!
“Med, Ga, pulang nanti kutraktir bakso, ya?! Kalian boleh makan sepuasnya!” Indri membalikkan tubuhnya ke meja di belakangnya.
“Asyik!” Olga bersemangat. Medi menggeleng pelan, “Lagi diet,” ucapnya pelan.
Yolanda tampak masuk kelas dengan tergesa-gesa. Tangannya memegang secarik kertas. Setelah berkeliling di setiap pojok kelas, dia kembali ke tempat duduknya, di samping Indri.
“Tak seorang pun bersedia membawakan puisi di acara HUT RI nanti…,” keluh Yolanda. “Menjadi panitia acara ternyata tak gampang,” imbuhnya lagi sambil membuang nafas berat.
“Yo, lihat ini! Baru saja dibagikan, Yo….” Indri mengibaskan kertas ulangannya. Yolanda menangkapnya cepat. Sesaat, matanya membesar diikuti seulas senyum di bibirnya.
“Hebat, In! Akhirnya….”
“Terima kasih, Yo…! Berkat kamu!” Indri spontan memeluk Yolanda. “Kutraktir bakso pulang nanti. Kamu boleh pesan apa saja yang kamu suka, Yo. Apa saja!”
Mendadak Yolanda seperti teringat sesuatu. Dia menarik kertas yang berisi nama-nama pengisi acara HUT RI yang dicatatnya. Tempat untuk pembaca puisi masih kosong!
“Aku tak mau bakso, Indri, tapi…” ucapannya digantung. Dia menunjuk tempat pembaca puisi kepada Indri. Indri menatapnya tak mengerti.
“Aku ingin kamu mengisi tempat pembaca puisi ini di malam acara HUT RI di sekolah kita tanggal 17 Agustus nanti, In….”
Indri menunjuk hidungnya sendiri dan menggeleng cepat. “Aku? Mana mungkin, Yo. Kamu tahu, ‘kan, aku tak bisa membuat puisi, mendeklamasikannya, apalagi….”
“Puisi akan disediakan oleh teman-teman panitia acara, In, kamu hanya perlu menghafal dan membawakannya dengan baik di hari H nanti.”
“Tapi… tapi… tubuhku begitu gendut, suaraku begitu kecil, wajahku seperti bakpao bengkak, kamu hanya bercanda, ‘kan, Yo?” Indri berharap melihat Yolanda mengangguk, tapi dia kecewa.
“Kita bukan hendak memilih Putri Indonesia, Non Indri. Tenang saja, kamu cocok….” Yolanda mencubit gemas pada pipi Indri.
“Aku demam panggung, Yo. Aku tak pernah ikut acara begituan… lagipula kamu seharusnya memilih yang berpengalaman, ‘kan, supaya acaranya menarik? Itu pastinya bukan aku….” Indri mulai memelas.
“Kami tak mencari yang berpengalaman, In, tapi yang berkemauan.”
“Aku tak bisa….”
“Oh, ya? Terus siapa yang minggu lalu mengatakan akan melakukan apa pun untuk ini?” Yolanda mengibaskan senjata berangka enampuluh lima di tangannya. Indri kelihatannya akan menangis semenit lagi. Segera diraihnya kertas itu dari tangan Yolanda. Sekarang, dia tak tahu harus mencintai kertas ulangan itu atau membencinya.
Olga memandang Yolanda dan Medi bergantian. “In, jadi makan bakso sepuasnya?”
***
Indri memandang lima bait puisi di hadapannya. Satu, dua, tiga…, duapuluh satu baris! Uh! Bagaimana menghafalnya?
Indri memandang jam di pojok kiri atas dinding kamarnya. Pukul 21.35 WIB. Setelah menghela nafas panjang, dia mulai berkonsentrasi menghafal. Tapi, belum satu bait, bayangan dirinya yang berada di atas panggung mulai muncul di benaknya. Berapa pasang mata yang akan melihatnya nanti? Bagaimana kalau dia lupa semua puisi ini nanti? Suara tertawaan penonton dalam bayangannya membuat jantungnya menggigil seketika.
Indri menegakkan punggungnya. Jangan takut. Yang penting adalah menghafal semua puisi ini dulu. Tentang gaya dalam mendeklamasikannya, soal nanti, batinnya.
Lalu, seperti yang sudah-sudah, Indri kembali mengarahkan matanya pada bait puisi di hadapannya. Dan, BLEPPP! Listrik padam!
Oh, Tuhan! Oh, PLN! Bagaimana ini? Setelah seharian tak punya waktu menghafal karena harus sekolah, sekarang tak satu huruf pun terlihat lagi!
Indri berusaha mengingat baris awal puisi yang sempat dihafalnya tadi: Indonesiaku…/ 68 tahun sudah kemerdekaanmu/ negeri kaya dan makmur/ tanah subur air melimpah/ oleh perjuanganmu pahlawan…/ kini… listrik padam! Ya, sampai kata ‘kini’ itulah tadi listrik padam! Indri mengeluh.
“In! Indri…! Ambilkan Mama air dari bak mandi atas, In! Keran airnya tak jalan, nih,” teriakan mama Indri terdengar dari balik pintu kamar mandi.
Indri segera bangkit. Fenomena biasa, air tak jalan jika listrik padam. Sambil meraba-raba mencari senter di laci mejanya, Indri beranjak keluar kamarnya menuju lantai atas, sambil terus menghafal: tanah subur air melimpah....
***

Malam Kesenian HUT RI Sekolah Satya Negara.
Indri telah duduk menanti di balik panggung dengan pakaian dominan merah-putih dan riasan yang menjadikannya tampak lebih dewasa.
Kertas salinan puisi yang akan dibacakannya nanti masih setia di genggamannya. Sesekali dia melirik ke balik layar dan melihat permainan drama perjuangan yang sedang dibawakan siswa-siswi kelas lainnya.
“Indri, habis ini giliranmu, ya?!” Kak Windy, kakak kelas di III-IPA I yang bertugas sebagai pembawa acara, mendadak bersuara mengagetkan Indri yang memang tak berhasil tenang sejak tadi.
“Eh, ohh…, ya. Tapi, jangan dulu, Kak Windy. Aku masih menghafal….”
Kak Windy tersenyum. “Baiklah. Setelah dua nomor lagi, ya?”
“Ya. Eh, jangan… jangan, eh,” Indri menelan ludah dengan susah payah. Entah sejak kapan dia menjadi tergagap bicara.
“Kamu baik-baik saja, Indri?”
“Ehm. Yaa… kalau bisa… kalau bisa aku nomor terakhir saja.”
Kak Windy mengangguk dan berlalu, meninggalkan Indri yang masih sibuk menghafal sambil menata rasa takutnya yang semakin tak karuan.
Kami persilakan Indri Lestari untuk naik ke panggung dan mendeklamasikan sebuah puisi kemerdekaan mewakili seluruh siswa-siswi SMA Satya Negara malam ini, dan sekaligus sebagai penutup acara Malam Kesenian HUT ke-68 RI ini…!
Indri tersentak mendengar namanya dipanggil. Kertas salinan yang telah lecek segera ditinggalkannya. Dengan perasaan takut dan gelisah, dia naik dari belakang dan muncul di atas panggung.
Sebuah mikrofon telah berdiri di tengah-tengah panggung bersama dengan sosok Indri. Seketika Indri merasakan tangannya menjadi sedingin es di kutub. Kakinya terasa gemetaran tak kokoh di tempatnya. Jantung di dalam dadanya menabuh lebih kencang sepuluh kali dari biasanya. Dia memandang ke arah penonton yang terlihat seolah sedang bersiap-siap menertawakannya.
“In, ayo…!” seru Yolanda dari kiri bawah panggung.
Indri tampak gugup, namun segera meraih mikrofon dengan tangannya yang gemetaran. Mulutnya terbuka namun suaranya tak dapat keluar. Sesaat…
BLEPPP! Listrik padam!
Teriakan kecewa terdengar di tengah-tengah penonton. Keadaan gulita seketika. Generator baru berhasil hidup duapuluh menit kemudian.
Kami mohon maaf karena adanya gangguan listrik padam dan malam sudah larut, maka dengan ini acara selesai sampai di sini saja. Terima kasih dan merdeka!
“MERDEKAAA!” Indri membalas salam Kak Windy dengan teriakan paling kuatnya dari bawah panggung; mewakili rasa kemerdekaannya yang sesungguhnya, dan dilanjutkan dengan kalimat: I love u full, PLN!, dalam hatinya.
***

Penulis adalah co-writer/ghostwriter
Blog: myartdimension.blogspot.com/liven-words.blogspot.com

(Diterbitkan Harian Analisa--TRP, 25 Agustus 2013)













05 January 2014

Terompet Tahun Baru


Oleh: Liven R
SUDAH dua hari Ardi melihat penjual terompet Tahun Baru mangkal di depan rumahnya. Terompet aneka ukuran dengan kertas warna-warni yang menarik itu membuat Ardi ingin memilikinya. Siang ini, ketika penjual terompet itu datang lagi, Ardi memberanikan diri keluar dan bertanya harga terompet itu.
“Hanya 15.000 rupiah, Nak,” ujar abang penjual terompet itu.
“Tunggu, ya, Bang.”
Ardi bergegas masuk ke rumah dan mengeluarkan kaleng susu bekas tempat dia menyimpan sisa uang jajannya selama ini. Dihitungnya uang itu.
“Ah, tidak cukup,” desahnya. Setelah dihitung ternyata Ardi hanya memiliki 12.000 rupiah saja. Masih kurang 3.000 rupiah.
Sesaat, Ardi keluar menemui abang penjual terompet kembali.
“Bang, uangku tak cukup. Kembali lagi besok, ya, Bang?”
Abang penjual terompet tersenyum dan mengangguk.
Ardi memandang terompet itu dan membayangkan memiliki salah satu terompet berwarna biru yang tergantung itu. Oh, liburan sekolah beberapa hari ini membuatnya tidak mendapatkan uang jajan dari Ayah. Bagaimana mengumpulkan uang 3.000 rupiah itu?
Malam hari Ardi terus menunggu Ayah pulang. Dia ingin meminta tambahan uang kepada Ayah. Tapi malam ini Ayah tidak pulang cepat. Kata Ibu, Ayah menelepon dan mengatakan malam ini akan pulang larut karena akan mengantar penumpang ke tempat yang sangat jauh. Ayah Ardi adalah seorang supir taksi.
Kelelahan menunggu, akhirnya Ardi tertidur sebelum ayahnya pulang.
Esok hari, Ardi baru bangun menjelang pukul 08.00 WIB, setelah dibangunkan Ibu. Setengah tergesa, Ardi berlari keluar dari kamar menuju ruang keluarga.
“Selamat pagi, Ibu. Di mana Ayah?”
“Ayah sudah berangkat kerja sejak tadi, Ardi, “ ucap Ibu.
“Ada apa, Ardi?” tanya Ibu penasaran.
Ardi hanya menggeleng. “Tidak ada, Bu. Ardi akan mandi sekarang,” ucap Ardi.
“Baiklah. Selesai mandi segera sarapan,” jawab Ibu.
Terompet Tahun Baru 
Teeeetttttt….! Teeeettttt…! Teeeettt…!
Menjelang siang bunyi terompet kembali terdengar. Abang penjual terompet datang lagi. Ardi memandang keluar dari balik jendela. Terompet warna-warni yang tergantung itu membuatnya sedih karena dia tidak bisa membelinya.
Dari jendela, Ardi juga melihat Bu Evi sedang kerepotan menenteng beberapa keranjang dan kantong plastik berukuran besar. Beberapa kali keranjang itu hampir jatuh. Kantong-kantong plastik diletakkan Bu Evi di bangku teras rumahnya. Bu Evi tampak kebingungan.
Ardi segera keluar menghampiri Bu Evi. “Mari kubantu, Bu,” seru Ardi dengan gembira.
“Ah, Ardi, terima kasih…. Kue-kue ini dipesan oleh tetangga di seberang jalan sana. Ibu kesulitan membawanya sendirian,” ucap Bu Evi. “Untung ada Ardi.”
Sebuah keranjang kecil dan sebuah kantong plastik berisi kue segera ditenteng Ardi. Dia berjalan mengikuti Bu Evi menuju ke seberang jalan. Setelah menyerahkan pesanan, mereka kembali.
“Ardi, terima kasih sudah membantu Ibu. Ini untuk tambahan uang jajanmu,” ucap Bu Evi sambil menyodorkan sehelai uang 5.000 rupiah kepada Ardi.
Ardi memandang uang itu dan menggeleng. Dia ingat ayahnya selalu mengajarkan membantu orang lain tak boleh pamrih atau mengharapkan imbalan.
Bu Evi tersenyum dan mengelus kepala Ardi. “Tak mengapa, Ardi. Terimalah…,” ucap Bu Evi lagi.
Akhirnya, Ardi menerima uang itu setelah Bu Evi memaksanya. Sebelum memasuki rumah, Ardi melihat abang penjual terompet masih mangkal di sisi jalan. Ardi teringat uang pemberian Bu Evi. Segera dia berlari ke dalam rumah dan mengeluarkan uang tabungannya. Kini, dengan uang tabungannya ditambah pemberian Bu Evi, dia bisa membeli terompet biru itu.
Teeeeeetttttt…! Selamat Tahun Baru!***

Diterbitkan Harian Analisa (Taman Riang), 5 Januari 2014