Oleh: Liven R
PROFESIONAL Muda, dalam keharmonisan pembauran etnis dan
kemajemukan budaya di Indonesia, Anda tentu pernah mendengar Festival Kue
Bulan/Festival Pertengahan Musim Gugur (Mid Autumn Festival/Zhong Qiu Jie), yang
mana dirayakan oleh etnis Tionghoa pada bulan delapan tanggal lima
belas—kalender Lunar—bertepatan dengan terjadinya fase bulan purnama.
Meski
berasal dan dilestarikan secara turun-temurun di Tiongkok, festival ini juga
dirayakan oleh masyarakat etnis Tionghoa peranakan di seluruh dunia, termasuk
Indonesia, dengan berpedoman pada kalender Lunar.
Di
Indonesia, perayaan Festival Kue Bulan biasanya selalu diisi dengan berbagai
acara dan kemeriahan yang berbeda-beda. Beberapa restoran maupun tempat wisata,
bahkan menawarkan berbagai alternatif hiburan dalam merayakan festival ini.
Bagaimana
sesungguhnya asal mula diadakannya Festival Kue Bulan?
Dalam
legendanya di Tiongkok, terdapat dua versi yang menceritakan asal mula Festival
Kue Bulan. Mari simak, ya?!
Chang’er terbang ke bulan
Dikisahkan,
pada zaman dahulu langit memiliki sepuluh buah Matahari. Suatu ketika, sepuluh
Matahari tersebut bersama-sama muncul di angkasa dan menyebabkan Bumi mengalami
kekeringan dan panas yang amat sangat.
Pada
saat itu, seorang pemuda bernama Hou Yi dengan gagah berani memanjat ke atas Gunung
Kun Lun dan dengan panah saktinya memanah
sembilan matahari yang ada dan
menyisakan hanya satu untuk tetap menerangi dan menghangatkan Bumi.
Atas
jasanya tersebut, kaisar menghadiahkan Hou Yi sebotol ramuan awet muda yang
dapat membuatnya hidup kekal. Dan tak lama berselang, Hou Yi pun diangkat
menjadi kaisar.
Akan
tetapi, Hou Yi yang beristrikan Chang’er—seorang wanita yang cantik jelita—lambat
laun menjadi sombong dan berlaku kejam.
Mengkhawatirkan
apabila suaminya yang kejam hidup kekal, rakyat akan menderita di bawah
kekuasaannya, Chang’er pun diam-diam mencuri ramuan awet muda tersebut dan
mereguknya hingga habis saat Hou Yi sedang pergi.
Sesaat
setelah mereguk cairan tersebut, tubuh Chang’er menjadi ringan dan
melayang-layang di udara.
Saat
itu, bertepatan dengan bulan delapan tanggal lima belas (Lunar kalender) dan Bulan
di langit sedang dalam fase purnamanya.
Mengetahui
bahwa dirinya akan melayang semakin jauh dari Bumi, Chang’er segera meraih
kelinci kesayangannya, kemudian bersama-sama melayang sampai ke Bulan dan
menetap di sana selamanya.
Sejak
saat itu, rakyat Tiongkok yang mengetahui pengorbanan Chang’er setiap tahun
selalu menyediakan kue, buah-buahan, dan segala makanan kesukaan Chang’er di
atas sebuah altar yang di hadapkan ke Bulan sebagai persembahan dan rasa terima
kasih kepada Chang’er (sang Dewi Bulan), dan seolah melihat Chang’er dan
kelincinya di bulan purnama pada setiap tanggal dan bulan yang sama.
Perjuangan rakyat Tiongkok
Dahulu
kala, dikisahkan rakyat Tiongkok hidup menderita di bawah penjajahan Mongol.
Suatu
ketika seorang aktivis bernama Zhu Yan Chang bersama deputi seniornya, Liu Po
Wen, mendapati suatu cara untuk mengajak rakyat Tiongkok berevolusi merebut kembali
kekuasaan Tiongkok. Karena pengawasan yang ketat dari tentara Mongol, pesan
yang berisi ajakan untuk memberontak tersebut kemudian ditulis pada kertas dan
diselipkan ke dalam kue (berbentuk bulat) untuk dibagi-bagikan kepada rakyat.
Dengan
menyamar sebagai pendeta Tao, Liu kemudian menyebarkan isu bahwa barangsiapa
yang memakan kue tersebut pada tanggal lima belas bulan delapan Lunar,
bertepatan dengan bulan purnama, akan terbebas dari penyakit dan segala
kesengsaraannya.
Pada
hari yang dimaksud, rakyat pun beramai-ramai memakan kue tersebut dan menemukan
pesan serta peta tersembunyi di dalamnya.
Sesuai
rencana Zhu dan Liu, mereka bersama-sama melakukan perlawanan dan akhirnya berhasil
mengalahkan pasukan Mongol.
Sejak
saat itu, setiap tanggal lima belas bulan delapan Lunar, rakyat Tiongkok selalu
merayakan Festival Pertengahan Musim Gugur dan menyebut kue berbentuk bulat
yang telah berjasa tersebut sebagai ‘kue bulan pertengahan musim gugur/zhong
qiu yue bing’.
Makna perayaan
Di
masa lalu, perayaan Festival Kue Bulan sangat kental dengan tradisi menyembahyangi
Dewi Bulan. Adapun benda-benda persembahan yang wajib ada adalah: kue bulan
(dengan bagian tengah berisi kuning telur asin yang melambangkan terang bulan),
kue putu wijen (yang bergambar Dewi Bulan), biskuit (dengan bentuk pistol-pistolan,
kakek tua, dan ikan), teh, buah pomelo/jeruk bali, dan buah-buahan lainnya.
Sebagai
tambahan bagi keluarga yang memiliki anak gadis, persembahan dapat ditambah
dengan sekotak bedak bergambar Dewi Bulan yang konon dipercaya dapat membuat si
anak gadis tumbuh sehat dan cantik (bagaikan Dewi Bulan) setelah memakainya. Di
masa kecil penulis, rangkaian tradisi ini juga kerap diadakan dan dinantikan,
bukan hanya sebagai momen pelestarian tradisi nenek moyang, namun lebih kepada
kesukacitaan dalam bermain lampion yang beraneka bentuk.
Dewasa
ini, selain mengacu pada legenda yang ada, Festival Kue Bulan lebih sering
dimaknai sebagai hari berkumpulnya sanak keluarga di saat bulan bersinar paling
terang dalam fasenya setahun.
Bulan
dan kue yang bulat dalam hal ini memiliki makna kebersamaan (‘bulat—yuan’ dalam
tradisi Tionghoa melambangkan keutuhan). Jadi, pada malam berlangsungnya
festival, biasanya orang-orang dewasa dan sanak keluarga yang dituakan akan
berkumpul, mengobrol sambil memandang bulan serta menikmati kue bulan dengan
sepoci teh hangat.
Seiring
perubahan zaman, agaknya prosesi menyembahyangi Dewi Bulan pun mulai langka
terlihat di negara kita. Begitu juga dengan kegiatan bermain lampion di
kalangan anak-anak terlihat mulai tergeser oleh modernisasinya permainan dan
tak lagi diminati. Namun meski demikian, tradisi memproduksi dan mengonsumsi
kue bulan di setiap pertengahan bulan delapan Lunar tetaplah tak terkikis
zaman.
Selain
itu, Festival Kue Bulan ternyata juga telah menjadi sebuah momen yang
mendekatkan tali silaturahmi antar-masyarakat. Hal ini terbukti menjelang
Festival Kue Bulan, masyarakat Tionghoa akan membeli dan menghadiahkan kue
bulan kepada sahabat maupun keluarga dekatnya sebagai simbol saling menghormati.
Lebih
dari itu, kue bulan yang dahulu diproduksi hanya dengan minyak hewani,
belakangan pun telah banyak diproduksi dengan minyak nabati dan berlabel
‘vegetarian’. Dengan demikian, kue bulan dengan aneka bentuk dan warna yang
indah serta nikmat, telah menjadi sesuatu yang pun dapat dinikmati oleh semua
kalangan dari berbagai etnis dan agama.
Festival
Kue Bulan tahun ini jatuh pada tanggal 30 September 2012, mari berharap agar
langit cerah pada malam festival tersebut, ya?! Hehehe…! Dan, dengan siapa saja
Anda berencana akan memandang indahnya bulan purnama?
Apa
pun, semoga Festival Kue Bulan semakin mendekatkan kebersamaan Anda dengan
keluarga maupun sahabat. Happy Mid
Autumn Festival!
Medan, bs/medio September 2012
Harian Analisa, Taman Remaja Pelajar, 23 September
2012
No comments:
Post a Comment