Oleh: Liven R
LONCENG istirahat baru saja berbunyi.
Sebentar saja ruang kelas III IPA-2 sudah sepi. Seperti biasa, teman-teman
pasti sedang menjejali kantin untuk meredam musik keroncong di perut
masing-masing.
Tinggal aku
sendirian di kelas berteman roti susu yang kubawa dari rumah. Makan atau tidur
saja barang limabelas menit? Ah, kalau bukan hari ini ada ulangan Fisika, aku
tak akan memaksa untuk masuk.
Kupejamkan mata.
Dunia masih terasa berputar.
“Hayo!
Pemalas!” Seseorang mencubit pipiku.
Aku membuka
mata. Sosok atletis itu tampak memandangku begitu dekat. Refleks, kudorong
wajahnya. Dia tertawa.
“Kemarin ke mana?”
“Sakit,” jawabku
pelan.
“Oh…, sakit
rindu?” tanyanya lagi sambil mengambil duduk di bangku barisan depan, tempat
duduk Sanny. “Sebenarnya, kamu tak perlu begitu merindukanku, Erin, toh, kita
hanya tak bertemu beberapa hari saja, kamu sudah….”
“Indra!” Aku
merasa perlu menghentikan ocehan Indra sebelum dia membuatku mual. “Siapa yang
sakit rindu? Aku hanya sedikit demam dan pusing.”
Hening.
Indra menatapku.
“Ayolah, Erin…, beri aku jawaban. Jadi
kekasihku, ya? Aku akan memberimu kado terindah di malam Natal nanti….” Indra
menarik tanganku dan memasang mimik serius.
Ups! Lagi-lagi!
Mengenal Indra sejak dari bangku SMP, bagiku dia adalah makhluk serba bisa. Ya,
Indra bukan hanya pintar di hampir semua mata pelajaran sekolah, tapi juga
vokalis grup musik paling bergengsi di sekolah ini. Pastinya, Indra adalah
sosok idola dari sekian banyak gadis berok biru maupun abu-abu di sekolah ini.
Hanya saja, sifat usilnya belum ada obatnya di dunia!
“Ah!” Kutarik
tanganku dari genggamannya. “Aku tak mau. Dasar gombal!”
“Hanya padamu.”
“Buaya!”
“Aku? Buaya?”
Indra menunjuk hidungnya. “…hmm, buaya itu bukan sesuatu yang jelek. Buktinya
ada penangkaran buaya di negara kita, ‘kan? Kamu pasti senang, sebentar lagi
akan bermunculan banyak makhluk seperti aku. Lagipula, ada juga baju yang
bermerek ‘Crocodile’. Lumayan, lha....”
“Indra, kamu
itu…”
“Tampan? Keren?
Aku sudah tahu dan sudah banyak yang memberitahuku, kok.”
“Muka tembok!”
“The Great Wall,
dong?”
Indra tertawa
senang bagaikan baru menonton film Mr Bean. Aku gondok setengah mati!
“Katakan saja
‘ya’, karena aku tak kuat menerima penolakan lagi….”
Oh, setiap kali
berbicara dengan Indra, aku harus berdoa. Dan, doaku terkabul! Lonceng
berbunyi!
Indra bangkit
untuk kembali ke kelas sebelah, III IPA-1.
“Aku masih
menunggu ‘ya’ darimu,” bisiknya sebelum berlalu.
***
Terik
di pelataran parkir.
Kulirik
jam di pergelangan tangan. Sudah lewat limapuluh menit, Wak Bagus belum juga
datang menjemputku. Ponselnya pun tak aktif. Ke manakah dia?
“Non,
mau kuantar?”
Kulayangkan
pandang ke arah pemilik suara yang duduk di balik setir sedan merah metalik.
“Sudah
menunggu lama, ‘kan? Ayo, kuantar….”
Aku
berpikir sejenak. Wak Bagus kemungkinan besar punya urusan lain dan lupa
memberitahuku. Ada baiknya aku diantar Indra. Lagipula, limabelas menit lagi
mungkin aku akan segera gosong di sini. Tapi…, tunggu dulu! Siapa sosok gadis
di sampingnya itu?
“Ehmm…. Sudah
satu jam,” ucapku. “…tapi, belum terlalu lama, kok. Tak apa. Aku menunggu di
sini saja.” Akhirnya aku menjawab mengingkari keinginan hatiku, demi melihat
Ferren mengulaskan senyum untukku dari samping tubuh Indra.
“Astaga! Sudah
tigaribu enamratus detik masih dibilang belum terlalu lama? Apa kamu mau
menunggu sampai pingsan di sini?”
“Tapi, Wak Bagus
sudah dalam perjalanan ke sini, kok.” Aku ternyata berbakat menjadi pengarang!
“Oooo… Benar?
Tak nyesal menolak diantar Den Bagus satu ini?”
Apa katanya?!
Den Bagus? Yang kumisnya panjang menutupi bibirnya itu? Apanya yang bagus?!
Ferren terbahak
sambil memeluk lengan Indra.
“Kesempatan
terakhir, nih! Wak Bagus atau Den Bagus?” seru Indra lagi dengan senyumnya.
“Ehm…, ya! Wak
Bagus!” Aku mengangguk mantap.
Pun akhirnya
mobil merah itu menderu meninggalkanku.
Aku segera
berjalan cepat meninggalkan lingkungan sekolah menuju halte terdekat. Semoga
saja masih ada angkot yang dapat kutumpangi. Ah, mengapa aku harus menolak
tawaran Indra? Bukankah sungguh nyaman duduk di mobilnya daripada kepanasan di
sini dan bersesak-sesakan nanti?
Ferren. Mendadak
batinku mengeja nama itu. Ternyata apa yang kudengar bukan gosip. Indra memang
dekat dengan Ferren sekarang. Berpacarankah mereka? Ah, Ferren yang cantik dan
Indra yang tampan, sungguh serasi! Sama-sama berbakat dan vokalis di grup musik
sekolah, hanya beda kelompok.
Tapi, entah
mengapa dadaku mendadak terasa berat dan sesak, ya? Pelukan Ferren pada lengan
Indra tadi. Tatapan manjanya pada Indra. Ada apa ini? Cemburukah aku? Ah, tak
mungkin!
Tiga bulan
setelah Natal tahun ini, kami akan lulus SMA dan meninggalkan sekolah yang
penuh kenangan itu untuk mengejar impian masing-masing. Aku masih ingat Indra
pernah mengatakan akan meneruskan kuliah ke Jerman, kota Beethoven, dan mengambil
jurusan musik. Sementara aku? Mungkin ke Surabaya atau Yogyakarta. Entahlah….
Pastinya, kami akan berpisah setelah itu.
Bagiku menjalin
cinta di masa-masa SMA tak kan bertahan lama. Hanya akan menyisakan kepahitan
nantinya. Dan, apa namanya? Cinta monyet—yang konon karena besarnya rasa cinta
si monyet pada seekor ikan mas, membuatnya mengeluarkan si ikan mas dari
kolamnya dan digantung di pohon untuk ditatapnya tanpa henti, tapi tak disadari
rasa cintanya membunuh si ikan mas perlahan dan pasti? Analogi untuk cinta yang
menyakitkan!
Lagipula, berapa
persentase manusia yang berhasil mempertahankan cinta SMA-nya hingga menjadi
pasangan kakek-nenek? Yang kutahu, sembilan puluh persen berakhir menjadi
cerita dalam novel-novel roman picisan. Tak Lebih!
Setidaknya aku
tahu apa yang dikatakan Indra padaku tadi siang di kelas hanyalah lelucon ala playboy! Huh! Tadi merayuku, sekarang
duduk bersisian dengan Ferren, keterlaluan! Aku tak akan begitu bodoh menjadi
si ikan mas, mati karena rayuan si monyet, eh, Den Bagus! Ups!
***
Malam Natal.
Pohon cemara
yang anggun dengan cahayanya yang gemilang tengah berdiri di dua sisi ruangan.
Lonceng keperakan sesekali berdenting mengikuti irama angin yang menyapa.
Pantulan cahaya nan indah seakan menyusupkan kedamaian di relung hati terdalam.
Bertahun-tahun,
setiap malam Natal aku selalu mengunjungi kapel ini dan mengikuti Misa Natal,
sesuatu yang tak akan kulewatkan, terlebih karena grup musik sekolah kami juga
turut memeriahkan malam Natal tiga tahun belakangan ini.
“Hai, Erin!
Sudah lama?” Sanny merangkulku dari belakang.
“Belum,” jawabku
singkat.
“Sudah tahu?
Malam ini grup Pioneer tak jadi tampil. Indra terjatuh saat geladi resik tadi
sore…,” Sanny mengimbuhkan.
“Apa? Bagaimana
keadaannya sekarang?”
“Tenang…,
kudengar hanya sedikit cedera di kakinya. Malam ini hanya grup Ferren yang
tampil.”
Pantas aku tak
melihat Indra dari tadi. Di mana dia sekarang? Sedang kesakitan ataukah sedang
bersedih karena tak dapat ikut memeriahkan malam Natal? Mendadak sebersit cemas
terbit di hatiku.
Sepeninggalan
Sanny, aku segera menyisir lorong-lorong kapel dan mencari sosok Indra. Aneh,
bukankah biasanya aku berusaha menghindarinya?
Itu dia! Di
undakan depan kapel, Indra yang berpakaian kemeja putih tampak duduk sendirian.
“Hei!”
Indra tak menyahut.
“Hei! Kamu
baik-baik saja?”
Indra berpaling
kepadaku. “Kamu bicara padaku?”
“Siapa lagi? Di
sini hanya ada kita berdua, ‘kan?”
“Ohhh…, tapi aku
bukan bernama ‘Hei’.”
Aku mengambil
duduk di samping Indra.
“…kalau lain
waktu tak tahu namaku, panggil saja ‘Sayang’.”
Kata-kata itu…,
ah, syukurlah Indra tak apa-apa.
Aku memandang
jauh ke langit malam. Bintang tampak meramaikan kelam. Malaikat di surga pasti
sedang berbaris menyambut malam yang kudus ini.
“Erin…,” suara
Indra memecah keheningan di antara kami. “Maukah memberiku jawaban di malam
yang suci ini?” Indra menatap lekat ke bola mataku. “Aku memang tak dapat
menjanjikan malam yang selalu berbintang, juga musim yang selalu semi, tapi
maukah saling menjadikan diri sebagai alasan kepulangan kembali di malam Natal
dan di kapel ini kelak, setelah raga
kita terpisah antar-negara?”
“Tapi Ferren?”
Hanya itu yang terlintas di benakku seketika.
“Ada apa dengan
Ferren?” Indra mencubit hidungku. “Dasar tukang gosip! Aku dekat dengannya
untuk latihan bersama menyambut Natal ini. Ada yang salah?”
Aku tersenyum. Ada
rasa lega mendengar pengakuan Indra. Perlahan Indra menarikku ke dekapannya.
“Merry
Christmas…!” bisiknya di sisi telingaku.
Angin berhembus
pelan. Suara lonceng berdenting syahdu. Sayup-sayup irama kedamaian membelai
kalbu….
Malam kudus…. Sunyi
senyap….
***
*Selamat Natal & Tahun Baru kepada teman-teman
pembaca yang merayakan!
*Dimuat Harian Analisa, Medan (23 Desember 2012)
*Penulis adalah trainer penulisan;ghostwriter;co-writer