Shoutbox

07 August 2013

Ini Milik Siapa?



Ini Milik Siapa?


KELAS bimbingan telah dimulai sejak setengah jam yang lalu. Aku telah memeriksa dan menentukan apa yang harus dipelajari dan dikerjakan oleh masing-masing anak didikku. Tapi, suara bisikan itu telah menarik perhatianku.
“Halo, kalian berdua, sudah bisa dimulai?” Aku menegur pada dua orang anak didikku yang duduk bersebelahan. Anak kelas tiga dan lima SD. Keduanya berhenti berbisik, melihat ke arahku dan mengangguk.
Aku kembali dengan kesibukanku, membuat soal dan mengoreksi hasil kerja anak didik. Tapi, sesaat aku melihat kedua anak itu masih saling mendorong sesuatu di atas meja mereka, kali ini tanpa suara.
“Huss! Lao Shi (Guru) sedang melihat kalian….” Melihatku memandang mereka, murid lain segera memberi isyarat kepada mereka berdua.
“Apa, sih?” Aku mencoba melihat pada sesuatu yang disodor ke sana ke mari sejak tadi. “Apa itu?” tanyaku penasaran.
Jona dan Jimmy, kedua anak itu, saling memandang.
“Lao Shi, ini punya siapa?” Jona segera berdiri dan menyerahkan sekotak isi dari pensil mechanical berwarna hitam yang masih baru ke mejaku.
Aku memandang kotak kecil itu sesaat dan mengangkatnya tinggi. “Halo…, punya siapa ini?” Aku menggerakkan tangan di udara untuk memperlihatkan kotak kecil kepada seisi kelas. “Ada yang kehilangan?”
Sesaat, semua diam. Mereka menggeleng. Tak ada yang menunjuk tangan.
“Di mana kamu menemukan ini, Jona?”
“Di sini.” Jona menunjuk pada meja, wilayah perbatasan mejanya dengan meja Jimmy.
“Kalau begitu, ini pasti punya salah satu dari kalian berdua…,” aku mencoba menengahi dengan pertimbangan tidak pernah ada penggantian tempat duduk selama bertahun-tahun di antara mereka. Jona selalu duduk bertetangga dengan Jimmy di bimbel kami.
“Itu bukan punyaku, Lao Shi…, punyaku berkotak warna putih.” Jimmy segera membantah, diikuti dengan membuka kotak pensilnya dan mengeluarkan miliknya yang berkotak putih. “Nah, ini punyaku,” lanjutnya lagi.
“Juga bukan punyaku,” ucap Jona sambil mengeluarkan miliknya juga, yang berkotak sama dengan yang berada dalam genggamanku, warna hitam.
“Tapi, ‘kan biasa kamu punya dua kotak, ‘kan? Lagipula kamu, tuh, yang selalu pakai merek ini,” Jimmy menunjuk pada merek kotak hitam.
“Jona, berarti ini punyamu?! Baiklah, simpan dan cepat kerjakan PR-mu! Kalian ini, tulis nama masing-masing, supaya tidak tertukar….” Aku meletakkan kembali isi pensil mechanical itu di atas meja Jona. Sesaat aku meninggalkan mereka untuk kembali pada kesibukanku.
“Punyaku?” tanya Jona lagi.
“Iya, dong, yang pasti bukan punyaku,” jawab Jimmy sambil mengerjakan PR-nya.
Dari tempat dudukku, aku memandang pada Jona. Dia terlihat masih menimang-nimang kotak kecil itu.
“Ah, tapi aku tak yakin ini punyaku…. Sebaiknya jangan diambil….” Dia berucap pelan dan meletakkan kembali kotak kecil hitam itu di atas meja, mendorongnya sedikit menjauh dari barang-barangnya.
 Waktu beranjak dengan cepat. Satu-persatu anak didikku pamit. Tinggallah aku sendirian membereskan meja dari kertas-kertas yang berserak.
Tiba di bagian meja Jona, aku tersenyum sendiri mendapati kotak hitam kecil itu masih tergeletak di sana.
Ah, anak-anak ini…! Ada kegembiraan merasuki batinku mendapati kepolosan dalam diri mereka yang mana sesungguhnya adalah sebuah pelajaran tentang kejujuran yang tak ternilai harganya. Ya, bukan tentang berapa harga dari isi pensil mechanical itu, tapi mereka yang masih begitu kecil saja telah mengerti untuk tidak mengambil barang apa pun yang bukan miliknya, sekecil apa pun!  
Saat ini, seberapa sering telah kita jumpai orang-orang yang mengupayakan berbagai cara untuk menjadikan milik orang lain sebagai miliknya sendiri? Kasus korupsi yang marak terjadi, selalu disebabkan adanya setitik ketamakan dalam hati individu terkait; adanya keinginan untuk memeroleh apa yang bukan hak milik sendiri, lantas mengupayakan berbagai cara untuk mencapai tujuan itu.
Jona dan Jimmy, secara langsung telah mempraktekkan ilmu kejujuran dalam kehidupan mereka sejak dini; tidak mengakui apa yang bukan miliknya; tidak menyimpan apa yang bukan miliknya; menolak menerima apa yang bukan haknya; malu untuk bersikap tamak; dan takut akan akibat mengambil apa yang bukan miliknya.
Ya, pada dasarnya, perasaan malu dan takut untuk berbuat yang tak semestinya, adalah sumber dari kebahagiaan kita semua. Tak ada kehidupan yang lebih tenang daripada kehidupan dengan dilandasi kejujuran, kepada diri sendiri dan kepada Tuhan.
Kita semua, yang telah dewasa; yang berpendidikan tinggi; yang berpangkat; yang berkedudukan; yang berkuasa, adakah telah berlaku lebih baik dari Jona dan Jimmy, anak-anak usia Sekolah Dasar itu?

Liven R,   Agustus 2013


No comments: