Ini Milik Siapa?
KELAS bimbingan
telah dimulai sejak setengah jam yang lalu. Aku telah memeriksa dan menentukan
apa yang harus dipelajari dan dikerjakan oleh masing-masing anak didikku. Tapi,
suara bisikan itu telah menarik perhatianku.
“Halo, kalian
berdua, sudah bisa dimulai?” Aku menegur pada dua orang anak didikku yang duduk
bersebelahan. Anak kelas tiga dan lima SD. Keduanya berhenti berbisik, melihat
ke arahku dan mengangguk.
Aku kembali
dengan kesibukanku, membuat soal dan mengoreksi hasil kerja anak didik. Tapi,
sesaat aku melihat kedua anak itu masih saling mendorong sesuatu di atas meja
mereka, kali ini tanpa suara.
“Huss! Lao Shi
(Guru) sedang melihat kalian….” Melihatku memandang mereka, murid lain segera
memberi isyarat kepada mereka berdua.
“Apa, sih?” Aku
mencoba melihat pada sesuatu yang disodor ke sana ke mari sejak tadi. “Apa itu?”
tanyaku penasaran.
Jona dan Jimmy,
kedua anak itu, saling memandang.
“Lao Shi, ini
punya siapa?” Jona segera berdiri dan menyerahkan sekotak isi dari pensil mechanical berwarna hitam yang masih
baru ke mejaku.
Aku memandang
kotak kecil itu sesaat dan mengangkatnya tinggi. “Halo…, punya siapa ini?” Aku
menggerakkan tangan di udara untuk memperlihatkan kotak kecil kepada seisi
kelas. “Ada yang kehilangan?”
Sesaat, semua
diam. Mereka menggeleng. Tak ada yang menunjuk tangan.
“Di mana kamu
menemukan ini, Jona?”
“Di sini.” Jona
menunjuk pada meja, wilayah perbatasan mejanya dengan meja Jimmy.
“Kalau begitu,
ini pasti punya salah satu dari kalian berdua…,” aku mencoba menengahi dengan
pertimbangan tidak pernah ada penggantian tempat duduk selama bertahun-tahun di
antara mereka. Jona selalu duduk bertetangga dengan Jimmy di bimbel kami.
“Itu bukan
punyaku, Lao Shi…, punyaku berkotak warna putih.” Jimmy segera membantah,
diikuti dengan membuka kotak pensilnya dan mengeluarkan miliknya yang berkotak
putih. “Nah, ini punyaku,” lanjutnya lagi.
“Juga bukan
punyaku,” ucap Jona sambil mengeluarkan miliknya juga, yang berkotak sama
dengan yang berada dalam genggamanku, warna hitam.
“Tapi, ‘kan
biasa kamu punya dua kotak, ‘kan? Lagipula kamu, tuh, yang selalu pakai merek
ini,” Jimmy menunjuk pada merek kotak hitam.
“Jona, berarti
ini punyamu?! Baiklah, simpan dan cepat kerjakan PR-mu! Kalian ini, tulis nama
masing-masing, supaya tidak tertukar….” Aku meletakkan kembali isi pensil mechanical itu di atas meja Jona. Sesaat
aku meninggalkan mereka untuk kembali pada kesibukanku.
“Punyaku?” tanya
Jona lagi.
“Iya, dong, yang
pasti bukan punyaku,” jawab Jimmy sambil mengerjakan PR-nya.
Dari tempat
dudukku, aku memandang pada Jona. Dia terlihat masih menimang-nimang kotak kecil
itu.
“Ah, tapi aku
tak yakin ini punyaku…. Sebaiknya jangan diambil….” Dia berucap pelan dan
meletakkan kembali kotak kecil hitam itu di atas meja, mendorongnya sedikit
menjauh dari barang-barangnya.
Waktu beranjak dengan cepat. Satu-persatu anak
didikku pamit. Tinggallah aku sendirian membereskan meja dari kertas-kertas
yang berserak.
Tiba di bagian
meja Jona, aku tersenyum sendiri mendapati kotak hitam kecil itu masih
tergeletak di sana.
Ah, anak-anak
ini…! Ada kegembiraan merasuki batinku mendapati kepolosan dalam diri mereka
yang mana sesungguhnya adalah sebuah pelajaran tentang kejujuran yang tak
ternilai harganya. Ya, bukan tentang berapa harga dari isi pensil mechanical itu, tapi mereka yang masih
begitu kecil saja telah mengerti untuk tidak mengambil barang apa pun yang bukan
miliknya, sekecil apa pun!
Saat ini, seberapa
sering telah kita jumpai orang-orang yang mengupayakan berbagai cara untuk
menjadikan milik orang lain sebagai miliknya sendiri? Kasus korupsi yang marak
terjadi, selalu disebabkan adanya setitik ketamakan dalam hati individu
terkait; adanya keinginan untuk memeroleh apa yang bukan hak milik sendiri,
lantas mengupayakan berbagai cara untuk mencapai tujuan itu.
Jona dan Jimmy,
secara langsung telah mempraktekkan ilmu kejujuran dalam kehidupan mereka sejak
dini; tidak mengakui apa yang bukan miliknya; tidak menyimpan apa yang bukan
miliknya; menolak menerima apa yang bukan haknya; malu untuk bersikap tamak;
dan takut akan akibat mengambil apa yang bukan miliknya.
Ya, pada
dasarnya, perasaan malu dan takut untuk berbuat yang tak semestinya, adalah
sumber dari kebahagiaan kita semua. Tak ada kehidupan yang lebih tenang
daripada kehidupan dengan dilandasi kejujuran, kepada diri sendiri dan kepada
Tuhan.
Kita semua, yang
telah dewasa; yang berpendidikan tinggi; yang berpangkat; yang berkedudukan;
yang berkuasa, adakah telah berlaku lebih baik dari Jona dan Jimmy, anak-anak usia
Sekolah Dasar itu?
Liven R, Agustus 2013