Oleh: Liven R
INDRI menatap angka 3 yang berada di samping kiri angka 5 warna merah yang
berdiri malu-malu di atas kertas ulangan Matematikanya. Buru-buru dilipatnya
kertas itu dan dimasukkan asal ke dalam laci saat dilihatnya geng KIMOY
memasuki kelas.
“In,
wajah kusut begini, ada apa?”
“Yuhu!”
Mendadak Yolanda berseru kegirangan atas angka 98 yang bertakhta angkuh di
kertas ulangannya. Yang lain segera memeriksa meja masing-masing dan tersenyum
lebar. Hanya Indri yang memiliki wajah belum disetrika!
Medi
kembali melirik Indri. “In, dapat berapa?”
Dengan
enggan Indri mengangkat tiga jari tangan kiri dan lima jari tangan kanannya.
“Limapuluh
tiga?”
Indri
menggeleng kuat hingga pipinya yang tembam terguncang. Yolanda, yang terkenal
paling pintar di seantero murid kelas satu SMA Satya Negara, tampak memekik
tanpa suara dan menutup mulutnya yang menganga dengan tangannya.
“Bagaimana,
dong? Aku sudah belajar keras selama dua minggu ini, bahkan sampai jam dua dini
hari, hasilnya tetap saja begini….” Indri memasak mimik paling menyedihkan
sedunia.
“Yo,
bagaimana kalau kamu bantu Indri?”
“Mengajari
Indri, maksudmu?” Yolanda memandang pada Karen yang berwajah manis.
Seketika,
Indri membelalakkan mata. Secercah harapannya untuk dapat menceraikan predikat
‘pelanggan nilai merah Matematika’ terbit di ufuk Utara hatinya. “Yo, mau, ya?
Ajari aku, ya?!”
Yolanda
menggaruk kepalanya sejenak. “Bagaimana, ya?”
“Asal
nilai Matematikaku tak lagi merah, aku akan melakukan apa pun untukmu nanti…”
“Apa
pun?”
“Ya,
apa pun!”
Yolanda
tersenyum.
“Hidup
KIMOY! Hidup Karen, Indri, Medi, Olga, Yolanda! Yes!” Serentak mereka
berpelukan. Sementara yang lain sibuk dengan bekal makan masing-masing, berkat
geng KIMOY, kelas I-IPA I seketika menjadi ramai bak pasar pagi.
***
Jam
istirahat.
Kertas
ulangan itu masih terbuka di atas meja dengan dua angka kebanggaan Indri
menghadap ke luar, memungkinkan siapa pun yang lewat untuk melihatnya. Ya,
melihat betapa roda kehidupan itu selalu berputar dan Indri pun ada kalanya
memiliki nilai hitam atas Matematikanya! Tak melulu nilai merah, lho! Batin
Indri sibuk cekikikan.
“Terima
kasih….” Terhitung telah belasan kali Indri tersenyum bangga atas ucapan
selamat yang dilontarkan teman-teman sekelasnya yang lewat dan melihat hasil
perjuangannya bersama Yolanda, meski nilai yang didapat hanya ‘cukup’ dan
bertengger tepat di batas nilai Kriteria Ketuntasan Minimal, yakni enampuluh
lima. Tapi, ini harus dirayakan!
“Med,
Ga, pulang nanti kutraktir bakso, ya?! Kalian boleh makan sepuasnya!” Indri
membalikkan tubuhnya ke meja di belakangnya.
“Asyik!”
Olga bersemangat. Medi menggeleng pelan, “Lagi diet,” ucapnya pelan.
Yolanda
tampak masuk kelas dengan tergesa-gesa. Tangannya memegang secarik kertas.
Setelah berkeliling di setiap pojok kelas, dia kembali ke tempat duduknya, di
samping Indri.
“Tak
seorang pun bersedia membawakan puisi di acara HUT RI nanti…,” keluh Yolanda.
“Menjadi panitia acara ternyata tak gampang,” imbuhnya lagi sambil membuang
nafas berat.
“Yo,
lihat ini! Baru saja dibagikan, Yo….” Indri mengibaskan kertas ulangannya.
Yolanda menangkapnya cepat. Sesaat, matanya membesar diikuti seulas senyum di
bibirnya.
“Hebat,
In! Akhirnya….”
“Terima
kasih, Yo…! Berkat kamu!” Indri spontan memeluk Yolanda. “Kutraktir bakso
pulang nanti. Kamu boleh pesan apa saja yang kamu suka, Yo. Apa saja!”
Mendadak
Yolanda seperti teringat sesuatu. Dia menarik kertas yang berisi nama-nama
pengisi acara HUT RI yang dicatatnya. Tempat untuk pembaca puisi masih kosong!
“Aku
tak mau bakso, Indri, tapi…” ucapannya digantung. Dia menunjuk tempat pembaca
puisi kepada Indri. Indri menatapnya tak mengerti.
“Aku
ingin kamu mengisi tempat pembaca puisi ini di malam acara HUT RI di sekolah
kita tanggal 17 Agustus nanti, In….”
Indri
menunjuk hidungnya sendiri dan menggeleng cepat. “Aku? Mana mungkin, Yo. Kamu
tahu, ‘kan, aku tak bisa membuat puisi, mendeklamasikannya, apalagi….”
“Puisi
akan disediakan oleh teman-teman panitia acara, In, kamu hanya perlu menghafal
dan membawakannya dengan baik di hari H nanti.”
“Tapi…
tapi… tubuhku begitu gendut, suaraku begitu kecil, wajahku seperti bakpao
bengkak, kamu hanya bercanda, ‘kan, Yo?” Indri berharap melihat Yolanda
mengangguk, tapi dia kecewa.
“Kita
bukan hendak memilih Putri Indonesia, Non Indri. Tenang saja, kamu cocok….”
Yolanda mencubit gemas pada pipi Indri.
“Aku
demam panggung, Yo. Aku tak pernah ikut acara begituan… lagipula kamu
seharusnya memilih yang berpengalaman, ‘kan, supaya acaranya menarik? Itu
pastinya bukan aku….” Indri mulai memelas.
“Kami
tak mencari yang berpengalaman, In, tapi yang berkemauan.”
“Aku
tak bisa….”
“Oh,
ya? Terus siapa yang minggu lalu mengatakan akan melakukan apa pun untuk ini?”
Yolanda mengibaskan senjata berangka enampuluh lima di tangannya. Indri
kelihatannya akan menangis semenit lagi. Segera diraihnya kertas itu dari
tangan Yolanda. Sekarang, dia tak tahu harus mencintai kertas ulangan itu atau
membencinya.
Olga
memandang Yolanda dan Medi bergantian. “In, jadi makan bakso sepuasnya?”
***
Indri
memandang lima bait puisi di hadapannya. Satu, dua, tiga…, duapuluh satu baris!
Uh! Bagaimana menghafalnya?
Indri
memandang jam di pojok kiri atas dinding kamarnya. Pukul 21.35 WIB. Setelah
menghela nafas panjang, dia mulai berkonsentrasi menghafal. Tapi, belum satu
bait, bayangan dirinya yang berada di atas panggung mulai muncul di benaknya.
Berapa pasang mata yang akan melihatnya nanti? Bagaimana kalau dia lupa semua
puisi ini nanti? Suara tertawaan penonton dalam bayangannya membuat jantungnya
menggigil seketika.
Indri
menegakkan punggungnya. Jangan takut. Yang penting adalah menghafal semua puisi
ini dulu. Tentang gaya dalam mendeklamasikannya, soal nanti, batinnya.
Lalu,
seperti yang sudah-sudah, Indri kembali mengarahkan matanya pada bait puisi di
hadapannya. Dan, BLEPPP! Listrik padam!
Oh,
Tuhan! Oh, PLN! Bagaimana ini? Setelah seharian tak punya waktu menghafal
karena harus sekolah, sekarang tak satu huruf pun terlihat lagi!
Indri
berusaha mengingat baris awal puisi yang sempat dihafalnya tadi: Indonesiaku…/
68 tahun sudah kemerdekaanmu/ negeri kaya dan makmur/ tanah subur air melimpah/
oleh perjuanganmu pahlawan…/ kini… listrik
padam! Ya, sampai kata ‘kini’ itulah
tadi listrik padam! Indri mengeluh.
“In!
Indri…! Ambilkan Mama air dari bak mandi atas, In! Keran airnya tak jalan,
nih,” teriakan mama Indri terdengar dari balik pintu kamar mandi.
Indri
segera bangkit. Fenomena biasa, air tak jalan jika listrik padam. Sambil
meraba-raba mencari senter di laci mejanya, Indri beranjak keluar kamarnya
menuju lantai atas, sambil terus menghafal: tanah subur air melimpah....
***
Malam
Kesenian HUT RI Sekolah Satya Negara.
Indri
telah duduk menanti di balik panggung dengan pakaian dominan merah-putih dan
riasan yang menjadikannya tampak lebih dewasa.
Kertas
salinan puisi yang akan dibacakannya nanti masih setia di genggamannya.
Sesekali dia melirik ke balik layar dan melihat permainan drama perjuangan yang
sedang dibawakan siswa-siswi kelas lainnya.
“Indri,
habis ini giliranmu, ya?!” Kak Windy, kakak kelas di III-IPA I yang bertugas
sebagai pembawa acara, mendadak bersuara mengagetkan Indri yang memang tak
berhasil tenang sejak tadi.
“Eh,
ohh…, ya. Tapi, jangan dulu, Kak Windy. Aku masih menghafal….”
Kak
Windy tersenyum. “Baiklah. Setelah dua nomor lagi, ya?”
“Ya.
Eh, jangan… jangan, eh,” Indri menelan ludah dengan susah payah. Entah sejak
kapan dia menjadi tergagap bicara.
“Kamu
baik-baik saja, Indri?”
“Ehm.
Yaa… kalau bisa… kalau bisa aku nomor terakhir saja.”
Kak
Windy mengangguk dan berlalu, meninggalkan Indri yang masih sibuk menghafal
sambil menata rasa takutnya yang semakin tak karuan.
Kami
persilakan Indri Lestari untuk naik ke panggung dan mendeklamasikan sebuah
puisi kemerdekaan mewakili seluruh siswa-siswi SMA Satya Negara malam ini, dan
sekaligus sebagai penutup acara Malam Kesenian HUT ke-68 RI ini…!
Indri
tersentak mendengar namanya dipanggil. Kertas salinan yang telah lecek segera
ditinggalkannya. Dengan perasaan takut dan gelisah, dia naik dari belakang dan
muncul di atas panggung.
Sebuah
mikrofon telah berdiri di tengah-tengah panggung bersama dengan sosok Indri. Seketika
Indri merasakan tangannya menjadi sedingin es di kutub. Kakinya terasa
gemetaran tak kokoh di tempatnya. Jantung di dalam dadanya menabuh lebih
kencang sepuluh kali dari biasanya. Dia memandang ke arah penonton yang
terlihat seolah sedang bersiap-siap menertawakannya.
“In,
ayo…!” seru Yolanda dari kiri bawah panggung.
Indri
tampak gugup, namun segera meraih mikrofon dengan tangannya yang gemetaran.
Mulutnya terbuka namun suaranya tak dapat keluar. Sesaat…
BLEPPP!
Listrik padam!
Teriakan
kecewa terdengar di tengah-tengah penonton. Keadaan gulita seketika. Generator
baru berhasil hidup duapuluh menit kemudian.
Kami
mohon maaf karena adanya gangguan listrik padam dan malam sudah larut, maka
dengan ini acara selesai sampai di sini saja. Terima kasih dan merdeka!
“MERDEKAAA!”
Indri membalas salam Kak Windy dengan teriakan paling kuatnya dari bawah
panggung; mewakili rasa kemerdekaannya yang sesungguhnya, dan dilanjutkan
dengan kalimat: I love u full, PLN!,
dalam hatinya.
***
Penulis adalah co-writer/ghostwriter
Blog:
myartdimension.blogspot.com/liven-words.blogspot.com
(Diterbitkan Harian Analisa--TRP,
25 Agustus 2013)